STUDI LAPANGAN KE PT. KAI DAN ANALISIS PERJANJIAN ANGKUTAN BARANG KIRIMAN HANTARAN

BAB I

PENDAHULUAN

 

  1. Latar Belakang

Tujuan di adakannya Study Lapangan adalah bagian dari kegiatan yang berhubungan dengan akademik serta mendukung proses belajar mahasiswa khususnya di Fakultas Hukum Universitas Nasional. Di harapkan dengan adanya kegiatan seperti ini mahasiswa jadi lebih mengetahui bagaimana situasi dan kondisi yang terjadi sesungguhnya dilapangan khususnya pada sistim perkereta apian di Indonesia.

Pengangkutan merupakan salah satu bagian yang tidak terpisahkan dari rangkaian sistem perekonomian. Perekonomian tidak akan berjalan secara maksimal tanpa didukung oleh sektor pengangkutan (transportation) yang kuat. Demikian pula dengan sektor angkutan darat yang terdiri dari dua jenis yaitu angkutan jalan raya untuk truk dan bus dan angkutan jalan rel untuk kereta api. Khusus untuk pengangkutan kereta api di Indonesia sampai saat ini diselenggarakan dan dikuasai sepenuhnya oleh pemerintah melalui PT. Kereta Api Indonesia (selanjutnya disebut PT. KAI).

Penyelenggaraan angkutan kereta api untuk beberapa daerah tertentu di Indonesia memang kurang populer bahkan ada daerah-daerah yang tidak mempunyai jenis transportasi dengan modal kereta api. Tetapi bagi kita yang bertempat tinggal di pulau Jawa khususnya, angkutan kereta api merupakan salah satu jenis modal transportasi yang sangat banyak peminatnya mengingat armada kereta api ini memiliki keistimewaan jika dibandingkan dengan truk atau bus bahkan pesawat, yaitu kereta api dapat mengangkut penumpang dan atau barang dalam jumlah yang besar secara sekaligus dalam satu kali perjalanan dengan biaya angkutan (charges, expenses) yang lebih murah daripada modal transportasi lainnya. Meskipun tetap ada kelemahannya, yaitu dalam daya jangkau lokasi atau tempat tujuan yang diinginkan hanya terbatas pada tempat-tempat yang telah ditentukan, hal ini disebabkan karena keterbatasan dalam prasarana (infrastructure) angkutan kereta api diantaranya keterbatasan dalam jalur rel kereta api, stasiun dan fasilitas operasi kereta api.

Penyelenggaraan angkutan kereta api pada dasarnya sama dengan penyelenggaraan angkutan jenis yang lain, yang diawali dengan adanya suatu perjanjian pengangkutan antara penumpang dan atau pengirim barang dengan pihak PT. KAI. Para pihak dalam perjanjian pengangkutan masing-masing mempunyai hak dan kewajiban dan tanggung jawab. Perjanjian pengangkutan tersebut harus memenuhi syarat-syarat sah suatu perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disingkat KUHPdt) dan syarat-syarat khusus yang ditetapkan oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 Tentang Perkeretaaapian (selanjutnya disingkat UUKA 2007).

UUKA 2007 ini merupakan peraturan yang baru dikeluarkan oleh pemerintah dengan tujuan untuk pembenahan dan penyempurnaan dari peraturan yang berlaku sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1992 Tentang Perkeretaapian.

Perkeretaapian menurut fungsinya terdiri dari perkeretaapian umum dan perkeretaapian khusus. Perkeretaapian umum adalah perkeretaapian yang digunakan untuk melayani angkutan orang dan/atau barang dengan dipungut bayaran, yang terdiri dari perkeretaapian perkotaan dan perkeretaapian antar kota, sedangkan perkeretaapian khusus adalah kereta api yang digunakan secara khusus oleh badan usaha tertentu untuk menunjang kegiatan pokok badan usaha tersebut.

Menurut kegunaannya, kereta api terbagi atas dua jenis, yaitu kereta api yang digunakan khusus untuk mengangkut barang (gerbong barang) dan kereta api yang digunakan khusus untuk mengangkut penumpang (gerbong penumpang). Setiap sarana dan prasarana perkeretaapian umum yang dioperasikan harus memenuhi standar kelaikan operasi dan memenuhi persyaratan keselamatan sebagaimana diatur dalam Pasal 20 dan Pasal 27 UUKA 2007. Yang dimaksud dengan memenuhi persyaratan kelaikan adalah kondisi prasarana siap operasi dan secara teknis aman untuk dioperasikan. Untuk menjamin kelaikan prasarana perkeretaapian, wajib dilakukan pemeriksaan dan pengujian untuk pertama kali dioperasikan dan pengujian secara berkala oleh Pemerintah dan dapat dilimpahkan kepada badan hukum atau lembaga yang mendapat akreditasi dari Pemerintah. Prasarana yang telah lulus dari pengujian akan diberikan sertifikat kelaikan operasi.

Penyelenggara sarana perkeretaapian wajib melakukan perawatan atas sarana perkeretaapian agar tetap baik operasi. Pengoperasian sarana perkeretaapian wajib dilakukan oleh Awak Sarana Perkeretaapian yang memenuhi persyaratan dan kualifikasi kecakapan yang dibuktikan dengan sertifikat kecakapan setelah lulus pendidikan dan pelatihan.

Perkeretaapian dikuasai oleh negara dan pembinaannya dilakukan oleh Pemerintah. Penyelenggaraan angkutan kereta api dilakukan dengan suatu perjanjian pengangkutan antara pihak pengangkut dengan penumpang dan atau pengirim barang, oleh karena itu perjanjian pengangkutan kereta api dibedakan atas dua bentuk yaitu, perjanjian pengangkutan penumpang dan perjanjian pengangkutan barang.

  1. KAI menerbitkan dokumen angkutan berupa karcis penumpang dan surat muatan barang. Karcis penumpang berfungsi sebagai tanda bukti terjadinya perjanjian pengangkutan penumpang, ketentuan ini diatur dalam Pasal 132 ayat (3) UUKA 2007, sedangkan surat muatan berfungsi sebagai tanda bukti terjadinya perjanjian pengangkutan barang.

Dalam penyelenggaraan pengangkutan PT. KAI menyediakan beberapa jenis pelayanan, diantaranya kelas ekonomi, kelas bisnis dan kelas eksekutif. Setiap keberangkatan disediakan 8 sampai 9 gerbong penumpang dengan kapasitas muatan 80 sampai 100 orang penumpang pada setiap gerbongnya. Biaya atau tarif angkutan yang dikenakan kepada penumpang berbeda untuk setiap kelas. Tarif angkutan penumpang ditetapkan oleh Penyelenggara Sarana Perkeretaapian berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh Pemerintah. Pedoman penetapan tarif angkutan dilakukan berdasarkan perhitungan modal, biaya operasi dan keuntungan, ketentuan ini terdapat pada Pasal 151 ayat (3) UUKA 2007.

Mengingat pentingnya peranan transportasi melalui kereta api, dan betapa besarnya tanggung jawab PT Kereta Api Indonesia (persero) sebagai pengangkut Penulis mengadakan penelitian pada PT Kereta Api Indonesia di Bandung.

 

BAB II

PROFIL PERUSAHAAN

 

  1. Sejarah Singkat Perusahaan
  2. Kereta Api (persero) adalah sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di bidang jasa transportasi pengangkutan penumpang dan barang, negosiasi dan peti kemas menggunakan Kereta Api sebagai sarana. Kereta Api itu sendiri untuk pertama kali di perkenalkan di Indonesia pada zaman penjajahan Belanda pada tahun 1864 dengan membangun lintas di Semarang (Kamijen), saat ini perusahaan Kereta Api (persero) sudah mulai berkembang

dengan kantor pusat di Bandung. Pertama kali lokomotif ditemukan oleh George Stephenson (Inggris) tahun 1814 pada waktu itu masyarakat menamakannya dengan sebutan “Kuda Besi”. Penemuan tersebut membawa angin baru yang mekanis dan membawa sejarah bangsa-bangsa di dunia, terlebih pertumbuhan ekonomi khususnya.

Awal perjalanan itulah tepatnya pada tanggal 17 juni 1864 Gubernur Jendral Sloed Van Beele melakukan perjangkauan pertama tanda dimulainya perkeretaapian di Indonesia, dengan memasang lintas di Semarang (Kamijen). Sesuai dengan posisi Indonesia saat itu merupakan daerah jajahan, motif-motif pendirian kereta api beranjak dari kepentingan negara penjajah, yaitu:

  1. Motif Ekonomi/Komersil, yaitu pengiriman hasil bumi Indonesia ke pelabuhan Semarang.
  2. Motif Politik/Pertahanan, yaitu merupakan alasan dan pondasi yang sangat kuat.

Semenjak pembuatan lintas kereta api tersebut, pertumbuhan selanjutnya di wilayah Indonesia, khususnya di pulau Jawa semakin diperhatikan dan diperluas dengan motif yang sama. Pertumbuhan kereta api tersebut bukan saja dipelopori oleh pemerintahan Belanda tetapi juga oleh perusahaan-perusahaan Belanda, misalnya di pulau Jawa seperti : SCS (Semarang Chirebon Stoom Maatschappi), SLS (Semarang Joana Stoom Train Maatschappi), KSM (Kediri Stoom Train My), MSM (Malang Stoom Train My) dan lain-lain. Wilayah Sumatera khususnya bagian utara, perusahaan swasta Belanda DSM (Deli Spoorweir Maatscahppi) membuka jaringan pertama di Sumatera Utara lintas labuhan Medan sekitar tanggal 17 Juli 1886 dengan motif yang sama yaitu mengangkat hasil perkebunan dari pedalaman ke pelabuhan timur yaitu pelabuhan Belawan. Pada Perang Dunia II pada masa pendudukan Jepang (1 Maret 1941-17 Agustus 1945) semua kereta api di Indonesia dibawah pendudukan Jepang, diubah namanya. Seperti di Jawa dinamakan Rikuyu Kyoku kemudian berubah dengan Tetsudo Kyoka yang berpusat di Bandung. Di Sumatera, perkereta apian dibawah pemerintahan Angkatan Laut Jepang dengan nama Tetsudo Tai yang berpusat di Bukit Tinggi. Status perkereta apian di Sumatera mengalami proses yang agak berbeda dengan kereta api lainnya. Sesudah berakhirnya pendudukan Jepang, Kereta Api di Sumatera Utara menjadi perusahaan swasta Belanda di wilayah Republik Indonesia. Sementara itu berdasarkan surat perintah penguasaan militer tanggal 6 Desember 1958 NV DSM, berada dibawah pengawasan militer dari Komando T dan TI. Kemudian berdasarkan SK Panglima T dan TI penguasaan militer tanggal 10 Desember 1957 nomor Pan/KPTS-045/12/57 Juncto, radiogram Kasad/Penguasa Militer Pusat tanggal 18 Desember 1957 nomor 77.602/57 tentang pengambilan alih wewenang Bahar dari perusahaan milik Belanda, oleh penguasa militer daerah Sumatera Utara. Tanggal 14 Desember 1957 wewenang Bahar atas NV DSM kepada Panglima T dan TI, mulai 29 April 1963 berdasarkan Undang-Undang Nomor Tahun 1958 Juncto PP. 41 Tahun 1959 dengan SK Menhub. tanggal 17 Januari 1963 Nomor 37/120 PT. Kereta Api (persero) Indonesia LA. DSM yang berpusat di Bandung, kemudian berdasarkan Undang-Undang Nomor 86 Tahun 1958 DKA berubah menjadi PN PERJAN.

Tahap-tahap perkembangan perkereta apian secara umum :

  1. Jaman Republik Indonesia (17 Agustus 1945-18 Desember 1948). Sepetember 1945 secara resmi lahirlah DKARI (Djawatan Kereta Api Republik Indonesia) yang berpusat di Bandung. Sementara pada waktu itu hanya meliputi Jawa, karena perkereta apian di Sumatera Utara berdiri sendiri.
  2. Pengesahan Kedaulatan. Januari 1950 terjadi penggabungan antara DKARI denagn SS/VS (Staats Spoorweg/Verenigf Spoorweg Bedryf) yang dikuasai Belanda menjadi DKARIS (Djawatan Kereta Api Republik Indonesia Serikat). Setelah RIS menjadi Republik Indonesia DKARIS berubah menjadi DKA
  3. Perusahaan Negara. Mei 1963 DKA berubah menjadi PNKA (Perusahaan Negara Kereta Api)

berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1963.

  1. Pengesahan Jawatan. Dengan PP Nomor 61/71, 15 September 1971 telah ditetapkan

perubahan status PNKA menjadi Perusahaan Jawatan (Perjan).

  1. Perusahaan Umum. Dengan PP Nomor 57 Tahun 1993, tanggal 30 Oktober 1990 ditetapkan

perubahan atas status Perusahaan Jawatan menjadi Perusahaan Umum Kereta Api (PERUMKA), berlaku mulai tanggal 30 Oktober 1990.

  1. Persero. Dengan PP Nomor 19 Tahun 1998 ditetapkan bentuk dari PERUM menjadi Persero. Dalam rangka sebagian pelimpahan wewenang Pemerintah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 1990 Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA) diubah bentuknya menjadi Perusahaan Umum Kereta Api (PERUMKA), kantor pusat PERUMKA berkedudukan di Bandung.
  2. Susunan Organisasi PT. Kereta Api (Persero)

1) Kereta Api Pusat di Bandung.

2) Divisi Sarana Bandung.

3) Divisi Usaha Pendukung di Bandung.

4) Divisi Pelatihan di Bandung.

5) Divisi Angkutan Perkotaan di Bandung.

6) Divisi Regional I Sumatera Utara di Medan.

7) Divisi Regional II di Padang.

8) Divisi Regional III Sumatera Selatan di Palembang.

9) Daerah Operasional.

a) Daerah Operasi 1 di Jakarta.

b) Daerah Operasi 2 di Bandung.

c) Daerah Operasi 3 di Cirebon.

d) Daerah Operasi 4 di Semarang.

e) Daerah Operasi 5 di Purwokerto.

f) Daerah Operasi 6 di Yogyakarta.

g) Daerah Operasi 7 di Madiun.

h) Daerah Operasi 8 di Surabaya.

 

BAB III

PEMBAHASAN

 

  1. Pengertian Pengakutan Barang

Dalam kegiatan sehari-hari kata pengangkutan sering diganti dengan kata ”transportasi”. Pengangkutan lebih menekankan pada aspek yuridis sedangkan transportasi lebih menekankan pada aspek kegiatan perekonomian, akan tetapi keduanya memiliki makna yang sama, yaitu sebagai kegiatan pemindahan dengan menggunakan alat angkut.[6]

Secara etimologis, transportasi berasal dari bahasa latin, yaitu transportare, trans berarti seberang atau sebelah lain; dan portare berarti mengangkut atau membawa. Dengan demikian, transportasi berarti mengangkut atau membawa sesuatu ke sebelah lain atau dari suatu tempat ke tempat lainnya. Hal ini berarti bahwa transportasi merupakan jasa yang diberikan, guna menolong orang atau barang untuk dibawa dari suatu tempat ke tempat lain lainnya.  Sehingga transportasi dapat didefenisikan sebagai usaha dan kegiatan mengangkut atau membawa barang dan/atau penumpang dari suatu tempat ke tempat lainnya.[7]

Abdulkadir Muhammad menguraikan istilah ”pengangkutan” dengan mengatakan bahwa pengangkutan meliputi tiga dimensi pokok yaitu : ”pengangkutan sebagai usaha (business); pengangkutan sebagai perjanjian (agreement); dan pengangkutan sebagai proses (process)”.[8]

Sedangkan pengangkutan sebagai perjanjian (agreement), pada umumnya bersifat lisan (tidak tertulis) tetapi selalu didukung oleh dokumen angkutan. Perjanjian pengangkutan dapat juga dibuat tertulis yang disebut carter (charterparty). Jadi perjanjian pengangkutan pada umumnya diadakan secara lisan, yang didukung oleh dokumen yang membuktikan bahwa perjanjian itu sudah terjadi. Menurut Hasim Purba di dalam bukunya ”Hukum Pengangkutan Di Laut”, pengangkutan adalah ”kegiatan pemindahan orang dan atau barang dari suatu tempat ke tempat lain baik melalui angkutan darat, angkutan perairan maupun angkutan udara dengan menggunakan alat angkutan. Jadi pengangkutan itu berupa suatu wujud kegiatan dengan maksud memindahkan barang-barang atau penumpang (orang) dari tempat asal ke suatu tempat tujuan tertentu”. Pengangkutan sebagai usaha memiliki ciri-ciri sebagai berikut:[9]

1)      Berdasarkan suatu perjanjian;

2)      Kegiatan ekonomi di bidang jasa;

3)      Berbentuk perusahaan;

4)      Menggunakan alat angkut mekanik.

Rangkaian kegiatan pemindahan tersebut meliputi :[10]

  1. a) Dalam arti luas, terdiri dari:

1        memuat penumpang dan/atau barang ke dalam alat pengangkut

2        membawa penumpang dan/atau barang ke tempat tujuan

3        menurunkan penumpang atau membongkar barang-barang di tempat tujuan.

  1. b) Dalam arti sempit, meliputi kegiatan membawa penumpang dan/atau barang dari stasiun/terminal/pelabuhan/bandar udara tempat tujuan.

Pengangkutan adalah perjanjian timbal balik antara pengangkut dan pengirim, dimana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan/ atau orang dari suatu tempat ketempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan pengirim mengikatkan diri untuk membayar uang angkutan.[11]

Menurut Ridwan Khairindy, pengangkutan merupakan pemindahan barang dan manusia dari tempat asal ke tempat tujuan. Ada beberapa unsur pengangkutan, yaitu sebagai berikut:[12]

  1. adanya sesuatu yang diangkut;
  2. tersedianya kendaraan sebagai alat angkut
  3. ada tempat yang dapat dilalui alat angkut.

Secara yuridis defenisi atau pengertian pengangkutan pada umumnya tidak ditemukan dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Walaupun demikian, pengangkutan itu menurut hukum atau secara yuridis dapat didefenisikan sebagai suatu perjanjian timbal balik antara pihak pengangkut dengan pihak yang diangkut atau pemilik barang atau pengirim, dengan memungut biaya pengangkutan.

  1. Dasar Hukum Pengangkutan Barang

Dalam dunia pengangkutan agar dapat berjalan dengan baik maka diperlukan suatu peraturan yang khusus membahas tentang pengangkutan, oleh karena itu dibuatlah hukum pengangkutan atau biasa disebut dengan hukum pengangkutan niaga. Hukum pengangkutan mencakup tiga ruang lingkup, yaitu:

  1. a) Angkutan Darat:
  • Diatur dalam buku I Bab V pasal 90 – 98 KUHD;
  • Sedangkan dasar hukumnya adalah UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 Tentang Perkeretaapian

Untuk mencapai hasil yang diharapkan serta dapat tercapai fungsi-fungsi pengangkutan, maka dalam pengangkutan diperlukan beberapa unsur yang memadai berupa:[13]

  1. Alat angkutan itu sendiri (operating facilities) , setiap barang atau orang akan diangkut tentu saja memerlukan alat pengangkutan yang memadai, baik kapasitasnya, besarnya maupun perlengkapan. Alat pengangkutan yang dimaksud dapat berupa truk, kereta api, kapal, bis atau pesawat udara. Perlengkapan yang disediakan haruslah sesuai dengan barang yang diangkut.
  2. Fasilitas yang akan dilalui oleh alat-alat pengangkutan (right of way), fasilitas tersebut dapat berupa jalan umum, rel kereta api, perairan/sungai, Bandar udara, navigasi dan sebagainya. Jadi apabila fasilitas yang dilalui oleh angkutan tidak tersedia atau tersedia tidak sempurna maka  proses pengangkutan itu sendiri tidak mungkin berjalan dengan lancar.
  3. Tempat persiapan pengangkutan (terminal facilities), tempat persiapan pengangkutan ini diperlukan karena suatu kegiatan pengangkutan tidak dapat berjalan dengan efektif apabila tidak ada terminal yang dipakai sebagai tempat persiapan sebelum dan sesudah proses pengangkutan dimulai
  4. Selain itu dalam dunia perdagangan pengangkutan memegang peranan yang sangat penting. Tidak hanya sebagai sarana angkutan yang harus membawa barang-barang yang diperdagangkan kepada konsumen tetapi juga sebagai alat penentu harga dari barang-barang tersebut. Karena itu untuk memperlancar usahanya produsen akan mencari pengangkutan yang berkelanjutan dan biaya pengangkutan yang murah.

Salah satu angkutan darat yang sangat bermanfaat adalah kereta api. Sarana angkutan ini merupakan saranan transportasi yang sangat digemari oleh masyarakat, karena lebih murah biayanya, daripada angkutan darat yang lainnya. Berikut ini hak dan wewenang dari penyelenggara prasarana perkereta-apian, yaitu:[14]

  1. Mengatur, mengendalikan, dan mengawasi perjalanan kereta api.
  2. Menghentikan pengoperasian sarana perkeretapian apabila dapat membayakan perjalanan kereta api.
  3. Melakukan penerbitan terhadap pengguna jasa kereta api yang tidak memenuhi persyaratan sebagai pengguna jasa kereta api di stasiun.
  4. Mendahulukan perjalanan kereta api di perpotongan sebidang dengan jalan.

b) Angkutan Udara:

  • Dasar hukumnya adalah UU No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan;
  • Dan PP No. 3 Tahun 2000 tentang Angkutan Udara.

Pertanggung jawaban pengangkutan udara menjadi hal yang sangat sensitif karena dalam pengangkutan udara kemungkinan berhubungan dengan negara-negara lain lebih besar. Ini berarti kemungkinan persinggungan hukum antara dua negara atau lebih menjadi lebih besar pula.Bukan  hal yang mudah mengkoordinasikan dua kepentingan yang berasal dari hukum yang berbeda tersebut sehingga perlu sebuah hukum ataupun aturan-aturan tertentu yang  mampu menaungi berbagai kepentingan tersebut.

Hukum udara adalah keseluruhan ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur ruang udara dan penggunaannya untuk keperluan penerbangan.[15] Hal yang kemudian menjadi alasan  penulis menyangkutpautkan hukum udara dalam pengangkutan adalah karena sifat pengangkutan udara sendiri yang bersifat internasional. Hukum udara bersumber dari perjanjian-perjanjian internasional, undang-undang dan peraturan nasional serta yurisprudensi.

Pada pengangkutan udara terdapat beberapa prinsip pertanggung jawaban pengangkut dalam pengangkutan udara, yaitu sebagai berikut:[16]

– Prinsip presumption of liability /presumtion of fault /presumtion of negligence:

Menurut prinsip ini pengangkut dianggap bertanggng jawab untuk kerugian yang diderita oleh penumpang atau seorang pengirim barang karena penumpang terluka atau tewas, atau bagasinya rusak atau hilang, atau rusaknya barang kiriman dan keterlambatan datang pihak yang dirugikan tidak perlu membuktikan haknya atas ganti rugi.

-Prinsip limitation of liability:

Menurut prinsip ini tanggung jawab pengangkut dibatasi sampai jumlah tertentu. Prinsip ini mendorong pengangkut untuk menyelesaikan masalah dengan jalan damai. Untuk itu limit tanggung jawab tidak boleh terlalu rendah ataupun terlalu tinggi.

-Prinsip absolute liability atau strict liability:

Prinsip ini mengatakan bahwa pengangkut bukan lagi dianggap bertanggung jawab, tetapi dalam hal ini pengangkut dianggap selalu bertanggung jawab tanpa ada kemungknan membebaskan diri kecuali kalau yang dirugikan bersalah atau turut bersalah dalam timbulnya kerugian pada dirinya. Pertanggung jawaban tidak hanya ada pada diri pengangkut,tetapi juga ada pada diri penumpang. Hal tersebut menjadi wajar dan adil karena tidak semua kerugian yang timbul dalam pengangkutan udara merupakan kesalahan pengangkut,tetapi kemungkinan penumpang melakukan kesalahan yang menyebabkan kerugian dirinya sendiripun ada.

Namun, ada juga sistem pertangung jawaban yang dibebankan pada pihak penumpang, yaitu:[17]

-Sistem warsawa atau protokol hague:

Berdasarkan sistem ini penumpang atau ahli warisnya cukup menunjukkan bahwa kerugian yang diderita timbul karena suatu kejadian yang terjadi selama penerbangan.Dalam sistem ini ada kemungkinan pengangkut bebas dari tanggungjawab,yaitu ketika pengangkut dapat membuktikan bahwa dia telah mengambil semua tindakan yang diperlukan untuk mencegah kerugian dan pengangkut dapat membuktikan bahwa kerugian disebabkan oleh kelalaian pihak yang dirugikan.

-Sistem guetemala:

Pada dasarnya sistem ini lebih menguntungkan penumpang dan memberatkan pengangkut,karena penetapan limit ganti rugi dinaikkan.

c) Angkutan Laut:

  • Diatur dalam Buku II Bab V-VB tentang perjanjian carter kapal, pengangkutan barang, dan pengangkutan orang;
  • Dasar hukumnya adalah UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, PP No. 82 Tahun 1999 tentang Angkutan di perairan, dan Keputusan Menteri No. 33 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Angkutan laut;

Perjanjian Pengakutan Barang

            Perjanjian pengakutan merupakan suatu aspek yang penting diperhatikan dalam penyelenggaraan pengakutan. Dalam membicarakan tanggung jawab pengakut terlebih dahulu adanya perjanjian karena tanggung jawab itu timbul sebagai akibat dari adanya perjanjian di antara para pihak.

Pengertian perjanjian secara umum diatur dalam Buku III Bab kedua Bagian kesatu Pasal 1313 KUHPerdata, yaitu “suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.

Menurut Subekti Perjanjian adalah “Suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.” Menurut Wirjono Prodjodikoro, bahwa perjanjian adalah “Suatu perhubungan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.”[18]

Setiap orang bebas mengadakan perjanjian apa saja, baik yang sudah diatur atau belum diataur dalam undang-undang. Tetapi kebebasan tersebut dibatasi oleh tiga hal yaitu tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan tidak bertentangan dengan kesusilaan (azas kebebasan berkontrak). Dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata disebutkan bahwa “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Sedangkan bunyi pasal tersebut, maka para pihak harus mematuhi isi dari perjanjian yang dibuatnya. Karena setelah ada kata sepakat antara kedua belah pihak mengenai hal tertentu, perjanjian itu akan mengikat. Dan sejak saat itu lahirlah hubungan hukum antara para pihak yang membuat perjanjian.

Perjanjian yang dilakukan oleh para pihak haruslah memenuhi persyaratan yang diwajibkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu berdasarkan pasal 1320 KUHPerdata. Adapun persyaratan yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut :

  1. Adanya kesepakatan diantara para pihak mengenai apapun yang diperjanjikan diantara para pihak.
  2. Kecakapan, yang membuat perjanjian harus mempunyai kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum.
  3. Hal tertentu, yaitu bahwa setiap perjanjian harus mempunyai objek perjanjiannya.
  4. Kausa yang halal berarti tujuan dari perjanjian itu harus halal atau tidak bertentangan dengan hukum.

Pengakutan diartikan sebagai pemindahan barang dan manusia dari tempat asal ketempat tujuan. Proses pengakutan merupakan gerakan dari tempat asal darimana kegiatan angkutan dimulai ke tempat tujuan, kemana kegiatan pengakutan diakhiri.

Ditinjau dari segi keperdataan hukum pengakutan ialah keseluruhan peraturan-peraturan didalam dan diluar kodifikasi (KUHPerdata dan KUHDagang) yang berdasarkan atas dan bertujuan untuk mengatur hubungan-hubungan hukum yang terbit karena keperluan pemindahan barang-barang dan atau orang-oarang dari suatu tempat ke tempat lain untuk memenuhi perikatan-perikatan yang lahir dari perjanjian-perjanjian tertentu, termasuk juga perjanjian-perjanjian untuk memberikan perantaraan mendapatkan pengakutan.

Hukum pengakutan merupakan bagian dari hukum dagang (perusahaan) yang termasuk dalam bidang hukum keperdataan. Dilihat dari segi susunan hukum normative, bidang hukum keperdataan adalah subsistem tata hukum nasional. Dengan demikian hukum pengakutan adalah bagian dari subsistem tata hukum nasional. Asas-asas hukum nasional adalah juga asas-asas hukum pengakutan.

Hukum pengakutan selalu berwujud ketentuan undang-undang dan perjanjian yang dibuktikan oleh dokumen tertulis. Bentuk tertulis selalu berupa kaidah yang menjadi pedoman perilaku pihak-pihak yang berkepentingan dalam pengakutan. Disamping kaidah tertulis ada pula kaidah tidak tertulis yang berupa kebiasaan dalam pengakutan yang diikuti oleh pihak-pihak karena praktis dan adil dalam mencapai tujuan pengakutan.

Terjadinya perjanjian pengakutan didahului oleh serangkaian perbuatan penawaran (offer) dan penerimaan (acceptance) yang dilakukan oleh pengakut dan pengirim/penumpang secara timbale balik. Serangkaian perbuatan tersebut tidak ada pengaturan rinci dalam undang-undang. Melainkan hanya dengan pernyataan “persetujuan kehendak” sebagai salah satu unsur dalam pasal 1320 KUHPerdata.

Apabila antara kedua belah pihak telah tercapai kesepakatan terhadap hal-hal pokok yang mereka kehendaki bersama, mengandung arti bahwa pihak yang satu, yaitu pengakut telah menyanggupi untuk memenuhi permintaan pihak yang lain, yaitu orang/penumpang yang memakai jasa angkutan untuk mengakut orang dari tempat asal ke tempat tujuan yang telah ditentukan, dan penumpang telah menyanggupi untuk membayar ongkos angkutan.

Meskipun perjanjian pada hakekatnya sudah diliputi oleh pasal-pasal dari hukum perjanjian dalam KUHPerdata, akan tetapi oleh undang-undang telah ditetapkan berbagai peraturan khusus yang bermaksud untuk kepentingan umum, membatasi kemerdekaan dalam hal membuat perjanjian pengakutan yaitu meletakkan berbagai kewajiban pada pihak  si pengakut.

Dalam perjanjian pengakutan, terdapat asas-asas yang merupakan landasan hukum pengakutan yang berlaku dan berguna bagi para pihak. Oleh Abdul kadir Muhammad asas-asas tersebut diklasifikasikan menjadi dua, yaitu :[19]

  • Yang bersifat publik: dan
  • Yang bersifat perdata.

Ad.1. Asas hukum pengakutan yang bersifat publik

Asas-asas yang bersifat publik merupakan landasan hukum pengakutan yang berlaku dan berguna bagi semua pihak yaitu pihak-pihak dalam pengakutan, pihak ketiga yang berkepentingan dengan pengakutan dan pihak pemerintah (penguasa). Asas-asas tersebut antara lain :

  1. Asas manfaat

Setiap pengakutan harus dapat memberikan nilai guna yang sebesar-besarnya bagi kemanusiaan, peningkatan kesejahteraan rakyat dan pengembangan perikehidupan yang berkeseimbangan bagi warga Negara.

  1. Usaha bersama dan kekeluargaan

Penyelenggaraan usaha pengangkutan dilaksanakan untuk mencapai cita-cita dan aspirasi bangsa yang dalam kegiatannya dapat dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat dan dijiwai semangat kekeluargaan.

  1. Adil dan merata

Penyelenggaraan pengakutan harus dapat memberikan pelayanan yang adil dan merata kepada segenap lapisan masyarakat, dengan biaya yang terjangkau oleh masyarakat.

  1. Keseimbangan

Penyelenggaraan pengakutan harus dengan keseimbangan yang serasi antara sarana dan prasarana, antara kepentingan pengguna dan penyedia jasa, antara kepentingan individu dan masyarakat, serta antara kepentingan nasional dan internasional.

  1. Kepentingan umum

Penyelenggaraan pengakutan harus lebih mengutamakan kepentingan pelayanan umum bagi masyarakat luas.

  1. Keterpaduan

Pengakutan harus merupakan kesatuan yang bulat dan utuh terpadu, saling menunjang dan saling mengisi baik intra maupun antar moda pengakutan.

  1. Kesadaran hukum

Pemerintah wajib menegakkan dan menjamin kepastian hukum serta mewajibkan kepada setiap warga Negara Indonesia agar selalu sadar dan taat kepada hukum dalam penyelenggaraan pengakutan.

  1. Percaya pada diri sendiri

Pengakutan harus berlandaskan pada kepercayaan akan kemampuan dan kekuatan sendiri serta bersendikan kepribadian bangsa.

  1. Keselamatan penumpang

Pengangkutan penumpang harus disertai dengan asuransi kecelakaan.

Ad.2. Asas hukum pengakutan yang bersifat perdata

Asas-asas yang bersifat perdata merupakan landasan hukum pengakutan yang hanya berlaku dan berguna bagi kedua pihak, yaitu pengakut dan penumpang atau pengirim barang. Asas-asas tersebut antara lain :

  1. Konsensual

Pengakutan tidak diharuskan dalam bentuk tertulis, sudah cukup dengan kesepakatan pihak-pihak . Tetapi untuk menyatakan bahwa perjanjian itu sudah terjadi atau sudah ada harus dibuktikan dengan atau didukung oleh dokumen angkutan.

  1. Koordinatif

Pihak-pihak dalam pengakutan mempunyai kedudukan setara atau sejajar, tidak ada pihak yang mengatasi atau membawahi yang lain. Walaupun pengakut menyediakan jasa dan melaksanakan perintah penumpang/pengirim barang, pengangkut bukan bawahan penumpang/pengirim barang. Pengakut adalah perjanjian pemberian kuasa.

  1. Campuran

Pengakutan merupakan campuran dari tiga jenis perjanjian, yaitu pemberian khusus, penyimpanan barang, dan melakukan pekerjaan dari pengirim kepada pengakut. Ketentuan ketiga jenis perjanjian ini berlaku pada pengakutan, kecuali jika ditentukan dalam perjanjian pengakutan.

  1. Retensi

Pengakutan tidak menggunakan hak retensi. Penggunaan hak retensi bertentangan dengan tujuan dan fungsi pengakutan. Pengakut hanya mempunyai kewajiban menyimpan barang atas biaya pemiliknya.

  1. Pembuktian dengan dokumen

Setiap pengakutan selalu dibuktikan  dengan dokumen angkutan. Tidak ada dokumen angkutan berarti tidak ada perjanjian pengakutan, kecuali jika kebiasaan yang sudah berlaku umum, misalnya pengakutan dengan angkutan kota (angkot) tanpa tiket/karcis penumpang.

Pengertian Ekspeditur, Dasar Hukum Ekspeditur, Fungsi dan Perananan Ekspeditur dan Tanggung Jawab Ekspeditur

Pengertian Ekspeditur

Ekspeditur dijumpai dalam perjanjian pengangkutan barang, dalam bahasa Inggris disebut cargo forwarder. Ekspeditur digolongkan sebagai subjek hukum pengangkutan karena mempunyai hubungan yang sangat erat dengan pengirim atau pengangkut atau penerima barang. Ekspeditur berfungsi sebagai perantara dalam perjanjian pengangkutan yang bertindak atas nama pengirim. Pengusaha transport seperti ekspeditur bekerja dalam lapangan pengangkutan barang-barang namun dalam hal ini ia sendirilah yang bertindak sebagai pihak pengangkut. Hal ini nampak sekali dalam perincian tentang besarnya biaya angkutan yang ditetapkan. Seorang ekspeditur memperhitungkan atas biaya muatan (vrachtloon) dari pihak pengangkut jumlah biaya dan provisi sebagai upah untuk pihaknya sendiri, yang tidak dilakukan oleh pengusaha transport. Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui kriteria ekspeditur menurut ketentuan undang-undang, yaitu:[20]

  1. perusahaan pengantara pencari pengangkut barang;
  2. bertindak untuk dan atas nama pengirim; dan
  3. menerima provisi dari pengirim.

Dasar Hukum Ekspeditur

Mengenai ekspeditur diatur dalam KUHD Buku I Bab V Bagian II, Pasal 86-90. Jelas bahwa ekspeditur menurut UU hanya sebagai perantara yang bersedia mencairkan pengangkut bagi pengirim dan tidak mengangkut sendiri barang’ yang diserahkan kepadanya itu. Perjanjian yang dibuat antara ekspeditur dan pengirim disebut ekspedisi. Daluarsa bagi gugatan terhadap ekspeditur hanya satu tahun bagi pengirim” dalam wilayah Indonesia dan dua tahun terhadap pengirim dari Indonesia ke luar negeri.

Tugas Ekspeditur dan Peranan Ekspeditur

Menurut pasal 86 ayat 1 KUHD memakai istilah ‘doen bervoren” (menyuruh mengangkut) biasanya ekspeditur bertindak atas nama sendiri walaupun untuk kepentingan dan tanggung jawab pengirim (pasal 455 KUHD) kedudukan ekspeditur adalah sama dengan komisioner yang bisa bertindak atas nama sendiri (pasal 76 KUHD).

Tanggung Jawab Ekspeditur

Tanggung jawab ekspeditur sebagai berikut :[21]

  1. menyelenggarakan pengiriman secepatnya setelah barang diterima dari pengirim b.mengendalikan segala upaya untuk menjamin keselamatan barang
  2. pengambilan barang” dari gudang pengirim
  3. bila perlu penyimpanan di gudang ekspeditur

Mulai Berlakunya Perjanjian Pengangkutan Barang

Mulai Berlakunya Perjanjian Pengangkutan Barang adalah sebagai berikut:

  1. Berlaku sejak tanggal yang ditentukan atau menurut yang disetujui oleh Para Pihak.
  2. Jika tidak ada ketentuan atau persetujuan, perjanjian mulai berlaku segera setelah persetujuan diikat dan dinyatakan oleh Para Pihak.
  3. Bila persetujuan suatu pengangkutan barang untuk diikat oleh perjanjian timbul setelah perjanjian itu berlaku, maka perjanjian mulai berlaku bagi Para Pihak itu pada tanggal tersebut, kecuali bila perjanjian menentukan lain.
  4. Ketentuan-ketentuan perjanjian yang mengatur pengesahan teksnya, pernyataan persetujuan Para Pihak untuk diikat oleh suatu perjanjian, cara dan tanggal berlakunya, persyaratan dan masalah-masalah lain yang timbul yang perlu sebelum berlakunya perjanjian itu, berlaku sejak saat disetujuinya teks perjanjian itu.

Saat Lahirnya Perjanjian Pengangkutan Barang

Menetapkan kapan saat lahirnya perjanjian mempunyai arti penting bagi :

  1. kesempatan penarikan kembali penawaran;
  2. penentuan resiko;
  3. saat mulai dihitungnya jangka waktu kadaluwarsa;
  4. menentukan tempat terjadinya perjanjian.

Berdasarkan Pasal 1320 jo 1338 ayat (1) BW/KUHPerdata dikenal adanya asas konsensual, yang dimaksud adalah bahwa perjanjian/kontrak lahir pada saat terjadinya konsensus/sepakat dari para pihak pembuat kontrak terhadap obyek yang diperjanjikan.

Pada umumnya perjanjian yang diatur dalam BW bersifat konsensual. Sedang yang dimaksud konsensus/sepakat adalah pertemuan kehendak atau persesuaian kehendak antara para pihak di dalam kontrak. Seorang dikatakan memberikan persetujuannya/kesepakatannya (toestemming), jika ia memang menghendaki apa yang disepakati.

Mariam Darus Badrulzaman melukiskan pengertian sepakat sebagai pernyataan kehendak yang disetujui (overeenstemende wilsverklaring) antar pihak-pihak. Pernyataan pihak yang menawarkan dinamakan tawaran (offerte). Pernyataan pihak yang menerima penawaran dinamakan akseptasi (acceptatie). Jadi pertemuan kehendak dari pihak yang menawarkan dan kehendak dari pihak yang akeptasi itulah yang disebut sepakat dan itu yang menimbulkan/melahirkan kontrak/perjanjian.

Ada beberapa teori yang bisa digunakan untuk menentukan saat lahirnya kontrak yaitu:

Teori Pernyataan (Uitings Theorie)

Menurut teori ini, kontrak telah ada/lahir pada saat atas suatu penawaran telah ditulis surat jawaban penerimaan. Dengan kata lain kontrak itu ada pada saat pihak lain menyatakan penerimaan/akseptasinya.

Teori Pengiriman (Verzending Theori).

Menurut teori ini saat pengiriman jawaban akseptasi adalah saat lahirnya kontrak. Tanggal cap pos dapat dipakai sebagai patokan tanggal lahirnya kontrak.

Teori Pengetahuan (Vernemingstheorie).

Menurut teori ini saat lahirnya kontrak adalah pada saat jawaban akseptasi diketahui isinya oleh pihak yang menawarkan.

Teori penerimaan (Ontvangtheorie).

Menurut teori ini saat lahirnya kontrak adalah pada saat diterimanya jawaban, tak peduli apakahsurattersebut dibuka atau dibiarkan tidak dibuka. Yang pokok adalah saat surat tersebut sampai pada alamat si penerima surat itulah yang dipakai sebagai patokan saat lahirnya kontrak.

Pelaksanaan Perjanjian Itikad baik dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata merupakan ukuran objektif untuk menilai pelaksanaan perjanjian, artinya pelaksanaan perjanjian harus mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Salah satunya untuk memperoleh hak milik ialah jual beli. Pelaksanaan perjanjian ialah pemenuhan hak dan kewajiban yang telah diperjanjikan oleh pihak-pihak supaya perjanjian itu mencapai tujuannya. Jadi perjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa. Perjanjian yang telah dibuat secara sah mengikat pihak-pihak, perjanjian tersebut tidak boleh diatur atau dibatalkan secara sepihak saja.[22]

Wanprestasi Dalam Perjanjian Pengangkutan Barang

Dalam perjanjian pengangkutan antara pihak pengangkutan barang dengan pemilik barang terdapat hak dan kewajiban para pihak. Kewajiban pengangkut adalah untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dari tempat pemuatan ke tempat tujuan dengan selamat sesuai dengan apa yang telah diperjanjikan serta menyerahkan dan menjaga barang itu sebagai bapak yang baik. Sedangkan hak pengangkut mendapatkan pembayaran biaya angkutan oleh pengirim barang setelah disepakatinya perjanjian pengangkutan. Selain pengangkut, Pengirim juga memiliki hak dan kewajiban diantaranya wajib membayarkan biaya angkutan yang telah disepakatan kepada pengangkut dan wajib memberitahukan pihak pengangkut tentang jenis, sifat, dan jumlah barang yang akan dia kirimkan. Hak pengirim adalah berhak meminta pengangkut untuk melakukan pengangkutan terhadap barang yang telah diserahkan pada pengangkut ke tempat tujuan dengan selamat sesuai dengan perjanjian pengangkutan yang telah disepakati dan berhak menerima ganti rugi atas kerugian akibat dari kesalahan pihak pengangkut (wanprestasi).

Pengangkut dapat dinyatakan wanprestasi setelah mendapat somasi atau surat peringatan dari pengirim sebanyak 3 (tiga) kali. Dan pengangkut dibebaskan dari kewajiban untuk mengganti biaya ganti kerugian apabila pengangkut dapat membuktikan bahwa kerugian yang terjadi bukan karena perbuatan wanprestasi pengangkut melainkan kerugian tersebut terjadi karena adanya keadaan memaksa (overmacht atau force majeur). Perjanjian pengangkutan antara pihak pengangkutan barang dengan pemilik barang tidak mencantumkan klausula yang mengatur tentang pilihan hukum jika terjadi wanprestasi, sehingga pihak yang dirugikan dapat menuntut proses penyelesaian sengketa tersebut melalui pengadilan negeri sesuai dengan sengketa dan wilayah hukumnya. Penyelesaian sengketa melalui pengadilan itu sendiri diatur dalam Pasal 118 HIR. Proses penyelesaian sengketa melalui mediasi atau perdamaian selalu diusahakan sebelum pemeriksaan perkara perdata dilakukan untuk memberikan kesempatan kepada para pihak untuk menyelesaikan perkara secara damai. Namun jika dalam usaha perdamaian yang dilakukan hakim gagal maka pemeriksaan di persidangan dilanjutkan pada proses lebih lanjut.

Untuk mewujudkan keseimbangan hak dan kewajiban pihak pengangkut  dan pengirim, dalam penyusunan perjanjian baku, hendaknya pengangkut memperhatikan ketentuan pencantuman klausula baku yang tertera pada Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dalam melakukan pengiriman barang hendaknya pengirim melakukan pengepakan atau pembungkusan yang kuat dan untuk barang yang bernilai tinggi hendaknya pengirim mengasuransikan barang tersebut. Bagi para pihak dalam perjanjian pengangkutan apabila terjadi sengketa, sebelum menempuh proses penyelesaian sengketa melalui pengadilan hendaknya para pihak menyelesaikan dengan cara damai atau musyawarah untuk mewujudkan proses penyelesaian sengketa yang murah, cepat, adil dan menguntungkan bagi kedua belah pihak.

Saat Berakhirnya Perjanjian Asuransi Pengangkutan

Perjanjian asuransi berakhir apabila :

  1. Jangka waktu berlakunya sudah habis

Asuransi biasanya diadakan untuk jangka waktu tertentu, misalnya 1 (satu) tahun. Jangka waktu ini biasanya terdapat pada asuransi kebakaran, kendaraan bermotor. Ada juga asuransi yang diadakan untuk jangka waktu yang lama, misalnya 10 (sepuluh)-20 tahun atau lebih yang biasanya terdapat pada asuransi jiwa. Jangka waktu asuransi tersebut ditetapkan dalam polis. KUHD tidak mengatur secara tegas jangka waktu asuransi. Apabila jangka waktu yang ditentukan itu habis, maka asuransi berakhir.

  1. Perjalanan Berakhir

Asuransi dapat diadakan berdasarkan perjalanan. Asuransi berakhir apabila perjalanan berakhir atau tiba ditempat tujuan. Asuransi berdasarkan perjalanan ini pada umumnya diadakan untuk asuransi pengangkutan baik pengangkutan barang maupun penumpang dari tempat pemberangkatan ketempat tujuan.

  1. Terjadi Evenemen diikuti klaim

Dalam polis dinyatakan terhadap evenemen apa saja asuransi itu diadakan. Apabila sementara asuransi berjalan terjadi evenemen yang ditanggung dan menimbulkan kerugian, penanggung akan menyelidiki apakah benar tertanggung mempunyai kepentingan terhadap benda yang diasuransikan. Di samping itu, apakah evenemen yang terjadi itu benar bukan karena kesalahan tertanggung dan sesuai dengan evenemen yang telah ditetapkan dalam polis. Bila benar, maka dilakukan pemberesan berdasarkan klaim tertanggung. Dengan pemenuhan ganti kerugian berdasarkan klaim tertanggung, maka asuransi berakhir.

  1. Asuransi berhenti atau dibatalkan

Berhentinya asuransi dapat terjadi karena kesepakatan antara tertanggung dan penanggung misalnya karena premi tidak dibayar ataupun karena faktor di luar kemauan tertanggung dan penanggung seperti terjadi pemberatan resiko setelah asuransi berjalan.

  1. Asuransi gugur

Asuransi gugur biasanya terdapat dalam asuransi pengangkutan. Jika objek yang diasuransikan tidak jadi diangkut, maka asuransi gugur. Tidak jadi diangkut dapat terjadi karena kapal tidak jadi berangkat atau baru akan melakukan perjalanan tetapi dihentikan.

Berakhirnya perjanjian asuransi dapat terjadi karena kemungkinan sebagai berikut:

  1. Dalam hal tertanggung memberi keterangan yang tidak benar atau menyembunyikan fakta sebenarnya mengenai keadaan objek yang diasuransikan (Pasal 251 KUHD).
  2. Jika sudah diketahui bahwa sudah ada kerugian sebelum atau pada saat dibuatnya perjanjian asuransi (Pasal 269 KUHD).
  3. Jika perjanjian asuransi dengan sengaja dibuat untuk mencari keuntungan dengan itikad tidak baik, penipuan dan kecurangan sehingga merugikan pihak penanggung (Pasal 282 KUHD).
  4. Penutupan perjanjian asuransi atas objek asuransi yang menurut peraturan Perundang-Undangan tidak boleh diperdagangkan (Pasal 599 Ayat (4) KUHD).[23]

 

BAB

IV

ANALISIS

PERJANJIAN

ANTARA

KERETA API INDONESIA (PERSERO)

DENGAN

X

TENTANG

ANGKUTAN BARANG KIRIMAN HANTARAN

DENGAN “KERETA API GUMARANG”

RELASI

JAKARTAKOTA – SURABAYA PASAR TURI P.P.

 

  1. Latar Belakang Perjanjian

Perjanjian Angkutan Barang Kiriman Hantaran pada intinya mewajibkan pengangkut untuk menjaga keselamatan barang yang diangkutnya hingga saat diserahkannya barang tersebut. Seandainya barang-barang tersebut tidak selamat maka pengangkut harus bertanggung jawab atas kerugian yang timbul akibat tidak dilaksanakan kewajiban tersebut. Pengirim akan menyerahkan tugas mengirim kepada ekspeditur untuk mengirimkan barang-barangnya. Pihak dalam perjanjian pengangkutan ialah ekspeditur maka ekspeditur yang bertanggungjawab kepada pengirim tentang pengiriman barangnya.

Hak dan kewajiban para pihak menimbulkan hubungan hukum antara para pihak tersebut. Pada pengirim yang akan mengirimkan barangnya melalui penghantar, penghantar telah bekerjasama dengan perusahaan pengangkutan untuk mengirimkan barang ke penerima. Pengirim memiliki hak-hak yang wajib dipenuhi oleh pihak penghantar disebabkan yang berhubungan langsung yaitu antara pengirim, pengangkut, dan penerima.

  1. X selaku pihak yang mempunyai barang melakukan pengiriman barang dengan bekerja sama perusahaan pengangkutan PT. KERETA API INDONESIA (PERSERO). PT. KERETA API INDONESIA (PERSERO) bertanggung jawab atas kerusakan barang yang terjadi pada kesalahan pekerja perusahaannya, karena langsung berhubungan dengan pengirim barang. Pada umumnya, kecelakaan kerusakan barang yang terjadi dikarenakan ada faktor ketidakdisipinan para pekerja dalam melayani barang kiriman tersebut dengan cara dilempar, terbentur, atau terbanting dan selain itu, disebabkan oleh faktor cuaca alam yang memang tidak memungkinkan untuk melakukan pengiriman barang tepat pada waktu yang disepakati.

Penyelenggaraan pengangkutan penghantar barang melalui PT. KERETA API INDONESIA (PERSERO) tidak terlepas dari hambatan-hambatan yang berakibat kerugian bagi pengirim maupun penerima barang.  Kerugian tersebut antara lain dalam hal rusaknya barang, hilangnya barang yang akan dikirim dikarenakan kesalahan pihak penghantar barang dalam pengangkutan maupun terlambat datangnya barang yang dikirim ke daerah tujuan. Pengirim sebelum menggunakan jasa penghantar seharusnya telah mengetahui hak-hak yang wajib dipenuhi pihak penghantar sehingga atas kerugian yang dilakukan pihak penghantar pengirim berhak menuntut ganti rugi kepada pihak penghantar.

Kerugian saat terjadi keterlambatan saat mengirimkan barang-barang berupa barang yang sangat dibutuhkan untuk segera digunakan. Namun, pada pengiriman barang yang datangnya terlambat dikarenakan terjadinya sutau overmacht, dapat diterima alasannya oleh pengirim dan penerima. Oleh sebab itu, penting sekiranya untuk mengetahui isi kontrak PT. X yang mengunakan layanan pengiriman barang melalui PT. KERETA API INDONESIA (PERSERO).

  1. Perjanjian Kerjasama

Perjanjian Kerjasama yang menjadi fokus pembahasan dalam analisis ini adalah Perjanjian Angkutan Barang Kiriman Hantaran yang ditandatangani tanggal 16 April 2016 (Perjanjian) antara PT. KERETA API INDONESIA (PERSERO) sebagai penyelenggara transportasi pengangkutan barang perkeretaapian di seluruh wilayah Indonesia dengan PT. X sebagai perusahaan yang memiliki barang.

Bagian-bagian dari Perjanjian ini adalah sebagai berikut:

  1. Judul dan Para Pihak dalam Perjanjian;
  2. Definisi;
  3. Maksud dan tujuan;
  4. Ruang lingkup pekerjaan;
  5. Masa berlaku;
  6. Tarif dan biaya angkutan;
  7. Pajak dan biaya lainnya;
  8. Cara pembayaran biaya angkutan dan biaya lainnya;
  9. Pernyataan dan jaminan;
  10. Hak dan kewajiban para pihak;
  11. Larangan;
  12. Pengawalan;
  13. Pengaturan muatan;
  14. Denda dan sanksi;
  15. Ganti rugi;
  16. Penambahan kereta bagasi atau gerbong;
  17. Berakhirnya perjanjian;
  18. Force majeure;
  19. Penundaan pelaksanaan perjanjian;
  20. Hukum yang berlaku dan penyelesaian perselisihan;
  21. Keterpisahan;
  22. Kerahasiaan;
  23. Klaim dan pengawasan;
  24. Korespondensi;
  25. Dokumen perjanjian;
  26. Dan lain-lain.[24]
  1. Proses dan Isi Perjanjian

Berdasarkan isi Perjanjian Angkutan Barang Kiriman Hantaran di atas, maka bentuk Perjanjian Angkutan Barang Kiriman Hantaran ini dibuat secara tertulis, para pihak dalam perjanjian ini menuangkannya dalam bentuk tertulis mengenai kepentingan mereka dalam perjanjian, syarat-syarat yang diperjanjikan serta kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi dalam perjanjian. Bentuk perjanjian yang dibuat secara tertulis ini juga merupakan wujud dari asas kebebasan berkontrak yang dianut oleh Buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

Asas kebebasan berkontrak ini diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa : “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.[25] Dengan menekankan pada perkataan semua, maka Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Perdata ini berisi suatu pernyataan kepada masyarakat bahwa kita diperbolehkan membuat perjanjian yang berupa dan berisi apa saja atau tentang apa saja, dan perjanjian itu akan mengikat mereka yang membuatnya seperti suatu undang-undang. Asas kebebasan berkontrak ini memberikan kebebasan kepada seseorang untuk mengadakan atau tidak mengadakan perjanjian, mengadakan perjanjian dengan siapapun, menentukan isi, syarat dan luasnya perjanjian.

Meskipun para pihak bebas untuk membuat perjanjian apa saja, hal ini tidak berarti para pihak yang membuat perjanjian bisa seenaknya untuk membuat perjanjian apa saja yang disukainya. Pasal 1337 KUH Perdata memberikan pembatasan dalam membuat perjanjian. Pasal ini menyebutkan bahwa suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh Undang-undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.[26] Jika bunyi Pasal 1337 KUH Perdata ini dikaitkan dengan asas kebebasan berkontrak yang dianut oleh Buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata, maka dapat dikemukakan suatu pernyataan bahwa para pihak bebas untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja, asalkan perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Dengan demikian, asas kebebasan berkontrak yang disebut juga dengan istilah “sistem terbuka” ini memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja, asalkan tidak melanggar ketertiban dan kesusilaan.

Berdasarkan isi dan tujuan diadakan Perjanjian Angkutan Barang Kiriman Hantaran antara PT. KERETA API INDONESIA (PERSERO) dengan PT. X, maka dapat dinyatakan bahwa perjanjian ini tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Oleh karena itu, meskipun perjanjian ini tidak diatur dalam Undang-undang, tetapi perjanjian ini tidak dilarang untuk dilaksanakan, asalkan dalam pelaksanaannya telah memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian seperti yang dikatakan dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yakni adanya kesepakatan dari mereka yang membuat perjanjian, kecapakan untuk membuat perjanjian, suatu hal tertentu dan sebab yang halal.[27] Jadi dapat dikatakan bahwa Perjanjian Angkutan Barang Kiriman Hantaran merupakan wujud dari asas kebebasan berkontrak yang dianut oleh Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Selain asas kebebasan berkontrak yang dianut dalam Perjanjian Angkutan Barang Kiriman Hantaran tersebut, juga menganut asas kepercayaan. Asas kepercayaan ini mengandung pengertian bahwa setiap orang yang akan mengadakan perjanjian akan memenuhi setiap prestasi yang diadakan di antara mereka di belakang hari. Jadi perjanjian tersebut menumbuhkan kepercayaan di antara kedua pihak yang mengadakan perjanjian bahwa satu sama lain akan memegang janjinya. Dengan kata lain akan memenuhi prestasinya di belakang hari. Tanpa adanya kepercayaan ini, maka perjanjian itu tidak mungkin akan diadakan oleh para pihak. Asas kepercayaan ini erat kaitannya dengan teori tentang kapan saat perjanjian itu terjadi. Berkaitan dengan teori tersebut, Pitlo dalam Purwahid Patrik mengemukakan suatu teori tentang kapan saat perjanjian itu terjadi, yang disebut dengan teori kepercayaan atau vertrouwenstheorie. Menurut teori kepercayaan, perjanjian dianggap telah terjadi pada saat yang menerima tawaran itu percaya bahwa tawarannya itu betul yang dimaksud.

Berdasarkan hasil analisis surat Perjanjian Angkutan Barang Kiriman Hantaran tersebut di atas maka dapat kami jelaskan bahwa Perjanjian Angkutan Barang Kiriman Hantaran antara PT. KERETA API INDONESIA (PERSERO) dengan PT. X telah menentukan standar baku mengenai hal-hal yang diperjanjikan sesuai dengan ketentuan Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 5 dalam perjanjian kerjasama tersebut, yaitu sebagai berikut:[28]

PASAL 3

RUANG LINGKUP PERJANJIAN

  • PIHAK PERTAMA menyediakan jasa angkutan barang yang dimanfaatkan untuk kepentingan PIHAK KEDUA.
  • Pelaksanaan jasa angkutan barang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dan/atau peraturan yang berlaku bagi angkutan barang dengan kereta api.
  • Kerugian PIHAK KEDUA yang disebabkan oleh Peristiwa Luar Biasa Hebat (PLH) selama perjalanan dari Stasiun Awal ke Stasiun Tujuan, ditanggung oleh Pihak Asuransi.
  • Penimbangan kereta api Barang Kiriman Hantaran dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
    1. Setiap Kereta Api barang yang akan berangkat harus dilakukan penimbangan dengan Timbangan Kereta Api Elektronik;
    2. Dalam hal di Stasiun Awal dan/atau Stasiun Antara tidak terdapat Timbangan Kereta Api Elektronik maka penimbangan dilakukan dimana pertama kali terdapat stasiun yang memiliki Timbangan Kereta Api Elektronik;
    3. Kereta Api Barang yang telah ditimbang harus dilakukan penimbangan kembali apabila terdapat indikasi Unsafe Condition dan/atau indikasi kelebihan muatan;
    4. Apabila terjadi kerusakan Timbangan Kereta Api Elektronik di Stasiun Awal maka penimbangan harus dilakukan dimana pertama kali terdapat stasiun yang memiliki Timbangan Kereta Api Elektronik;
    5. Bilamana tidak terdapat Timbangan Kereta Api Elektronik maka Volume Angkutan berdasarkan data dari PIHAK KEDUA.
  • Apabila terdapat perubahan Berat Muat kereta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) maka PIHAK PERTAMA akan memberitahukan kepada PIHAK KEDUA.
  • Dalam rangka melaksanakan Perjanjian ini, PIHAK KEDUA dapat menggunakan lahan atau gudang milik PIHAK PERTAMA yang ditentukan oleh PIHAK PERTAMA dengan cara menyewa kepada PIHAK PERTAMA yang diatur dalam perjanjian tersendiri, sesuai dengan ketentuan yang berlaku di lingkungan PIHAK PERTAMA.

PASAL 4

MASA BERLAKU

  • Perjanjian ini diberlakukan dengan masa berlaku yang telah disepakati oleh PARA PIHAK sebagaimana dimaksud dalam P
  • Apabila PIHAK KEDUA akan memperpanjang Perjanjian ini, dapat mengajukan permohonan secara tertulis kepada PIHAK PERTAMA selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sebelum jangka waktu Perjanjian berakhir yang dituangkan dalam Perjanjian baru dengan ketentuan PIHAK KEDUA harus terlebih dahulu melunasi segala pembayaran yang harus dilaksanakan berdasarkan Perjanjian ini.
  • Apabila PARA PIHAK sepakat untuk melanjutkan Perjanjian setelah jangka waktu Perjanjian berakhir, maka Tarif Angkutan akan dievaluasi sebagaimana dalam Pasal 5 ayat (1).

PASAL 5

TARIF DAN BIAYA ANGKUTAN

  • Tarif Angkutan sebagaimana tersebut dalam Perjanjian akan dievaluasi termasuk dan tidak terbatas pada:
  1. Tingkat inflasi yang akan berlaku di Tahun berikutnya berdasarkan prediksi Pemerintah di bulan Oktober Tahun berjalan;
  2. Kenaikan biaya yang diakibatkan oleh kebijakan Pemerintah;
  3. Perubahan harga penebusan BBM berupa kenaikan atau penurunan harga; dan/atau
  4. Nilai Kurs Dollar terhadap Rupiah.
  • Apabila Berat Muat Kereta Bagasi/Gerbong yang disediakan oleh PIHAK PERTAMA:
  1. Lebih kecil dari target angkutan dalam Perjanjian, maka Biaya Angkutan yang harus dibayar dengan muatan isi ataupun kosong adalah sebesar Tarif Angkutan dikalikan Batas Muat Angkutan yang digunakan.
  2. Lebih besar dari target angkutan dalam Perjanjian, maka Biaya Angkutan yang harus dibayar dengan muatan isi ataupun kosong adalah sebesar Biaya Angkutan sesuai Target Angkutan dalam Perjanjian. Apabila PIHAK KEDUA mengajukan permohonan untuk menambah jumlah angkutan lebih dari target angkutan, maka Biaya Angkutan yang dibayarkan dengan muatan isi ataupun kosong adalah sebesar Tarif Angkutan dikalikan Batas muat angkutan Kereta Bagasi/Gerbong yang digunakan.
  3. Perubahan Berat Muat yang menunjukkan penurunan atau kenaikan Biaya Angkutan maka PIHAK PERTAMA akan memberitahukan kepada PIHAK KEDUA.
  • Apabila dalam pelaksanaan angkutan barang terdapat muatan di Stasiun Antara, maka di Stasiun Antara tersebut harus dibuat Surat Angkutan, tanpa dikenakan
  • Apabila PIHAK PERTAMA telah menyediakan sarana sesuai dengan hari operasi sebagaimana dimaksud dalam Perjanjian, namun PIHAK KEDUA tidak memuat barang untuk diangkut oleh PIHAK PERTAMA, maka PIHAK KEDUA tetap harus membayar Biaya Angkutan tersebut secara penuh sebagaimana dimaksud dalam Perjanjian ini kecuali dalam hal terjadi Force Majeure.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat kami jelaskan bahwa Perjanjian Angkutan Barang Kiriman Hantaran antara PT. KERETA API INDONESIA (PERSERO) dengan PT. X yang dilakukan secara tertulis menurut kami sudah sah menurut hukum yang berlaku. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, bahwa suatu perjanjian dinyatakan sah apabila telah memenuhi 4 (empat) syarat komulatif. Keempat syarat untuk sahnya perjanjian tersebut antara lain :[29]

  1. Sepakat diantara mereka yang mengikatkan diri. Artinya para pihak yang membuat perjanjian telah sepakat atau setuju mengenai hal-hal pokok atau materi yang diperjanjikan. Dan kesepakatan itu dianggap tidak ada apabila diberikan karena kekeliruan, kekhilafan, paksaan ataupun penipuan.
  2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan. Arti kata kecakapan yang dimaksud dalam hal ini adalah bahwa para pihak telah dinyatakan dewasa oleh hukum, yakni sesuai dengan ketentuan KUHPerdata, mereka yang telah berusia 21 tahun, sudah atau pernah menikah. Cakap juga berarti orang yang sudah dewasa, sehat akal pikiran, dan tidak dilarang oleh suatu peraturan perundang-undangan untuk melakukan suatu perbuatan tertentu. Dan orang-orang yang dianggap tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum yaitu : orang-orang yang belum dewasa, menurut Pasal 1330 KUHPerdata jo. Pasal 47 UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan; orang-orang yang ditaruh dibawah pengampuan, menurut Pasal 1330 jo. Pasal 433 KUHPerdata; serta orang-orang yang dilarang oleh undang-undang untuk melakukan perbuatan hukum tertentu seperti orang yang telah dinyatakan pailit oleh pengadilan.
  3. Suatu Hal Tertentu. Artinya, dalam membuat perjanjian, apa yang diperjanjikan harus jelas sehingga hak dan kewajiban para pihak bisa ditetapkan.
  4. Suatu Sebab Yang Halal. Artinya, suatu perjanjian harus berdasarkan sebab yang halal yang tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 1337 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yaitu : tidak bertentangan dengan ketertiban umum; tidak bertentangan dengan kesusilaan; dan tidak bertentangan dengan undang-undang.

Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas, syarat kesatu dan kedua dinamakan syarat subjektif, karena berbicara mengenai subjek yang mengadakan perjanjian, sedangkan ketiga dan keempat dinamakan syarat objektif, karena berbicara mengenai objek yang diperjanjikan dalam sebuah perjanjian. Dalam perjanjian bilamana syarat-syarat subjektif tidak terpenuhi maka perjanjiannya dapat dibatalkan oleh hakim atas permintaan pihak yang tidak cakap atau yang memberikan kesepakatan secara tidak bebas. Selama tidak dibatalkan, perjanjian tersebut tetap mengikat. Sedangkan, bilamana syarat-syarat objektif yang tidak dipenuhi maka perjanjiannya batal demi hukum. Artinya batal demi hukum bahwa, dari semula dianggap tidak pernah ada perjanjian sehingga tidak ada dasar untuk saling menuntut di pengadilan.

 

BAB IV

PENUTUP

 

Kesimpulan

Pengangkutan merupakan salah satu bagian yang tidak terpisahkan dari rangkaian sistem perekonomian. Perekonomian tidak akan berjalan secara maksimal tanpa didukung oleh sektor pengangkutan (transportation) yang kuat. Demikian pula dengan sektor angkutan darat yang terdiri dari dua jenis yaitu angkutan jalan raya untuk truk dan bus dan angkutan jalan rel untuk kereta api. Khusus untuk pengangkutan kereta api di Indonesia sampai saat ini diselenggarakan dan dikuasai sepenuhnya oleh pemerintah melalui PT. Kereta Api Indonesia (selanjutnya disebut PT. KAI).

Menurut kegunaannya, kereta api terbagi atas dua jenis, yaitu kereta api yang digunakan khusus untuk mengangkut barang (gerbong barang) dan kereta api yang digunakan khusus untuk mengangkut penumpang (gerbong penumpang). Setiap sarana dan prasarana perkeretaapian umum yang dioperasikan harus memenuhi standar kelaikan operasi dan memenuhi persyaratan keselamatan sebagaimana diatur dalam Pasal 20 dan Pasal 27 UUKA 2007. Yang dimaksud dengan memenuhi persyaratan kelaikan adalah kondisi prasarana siap operasi dan secara teknis aman untuk dioperasikan. Untuk menjamin kelaikan prasarana perkeretaapian, wajib dilakukan pemeriksaan dan pengujian untuk pertama kali dioperasikan dan pengujian secara berkala oleh Pemerintah dan dapat dilimpahkan kepada badan hukum atau lembaga yang mendapat akreditasi dari Pemerintah. Prasarana yang telah lulus dari pengujian akan diberikan sertifikat kelaikan operasi.

Secara yuridis defenisi atau pengertian pengangkutan pada umumnya tidak ditemukan dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Walaupun demikian, pengangkutan itu menurut hukum atau secara yuridis dapat didefenisikan sebagai suatu perjanjian timbal balik antara pihak pengangkut dengan pihak yang diangkut atau pemilik barang atau pengirim,dengan memungut biaya pengangkutan.

Ekspeditur digolongkan sebagai subjek hukum pengangkutan karena mempunyai hubungan yang sangat erat dengan pengirim atau pengangkut atau penerima barang. Ekspeditur berfungsi sebagai perantara dalam perjanjian pengangkutan yang bertindak atas nama pengirim. Pengusaha transport seperti ekspeditur bekerja dalam lapangan pengangkutan barang-barang namun dalam hal ini ia sendirilah yang bertindak sebagai pihak pengangkut.

PT Kereta Api Logistik (Kalog) adalah nama salah satu anak perusahaan PT Kereta Api Indonesia (Persero) yang bergerak di bidang angkutan barang berbasis kereta api. Fokus perusahaan ini adalah mewujudkan pengangkutan barang ke seluruh Indonesia dan pasar ekspor melalui kereta api, serta mengintegrasikan layanannya dengan angkutan antarmoda (pra- dan lanjutan).

Perjanjian Angkutan Barang Kiriman Hantaran pada intinya mewajibkan pengangkut untuk menjaga keselamatan barang yang diangkutnya hingga saat diserahkannya barang tersebut. Seandainya barang-barang tersebut tidak selamat maka pengangkut harus bertanggung jawab atas kerugian yang timbul akibat tidak dilaksanakan kewajiban tersebut. Pengirim akan menyerahkan tugas mengirim kepada ekspeditur untuk mengirimkan barang-barangnya. Pihak dalam perjanjian pengangkutan ialah ekspeditur maka ekspeditur yang bertanggungjawab kepada pengirim tentang pengiriman barangnya.

Hak dan kewajiban para pihak menimbulkan hubungan hukum antara para pihak tersebut. Pada pengirim yang akan mengirimkan barangnya melalui penghantar, penghantar telah bekerjasama dengan perusahaan pengangkutan untuk mengirimkan barang ke penerima. Pengirim memiliki hak-hak yang wajib dipenuhi oleh pihak penghantar disebabkan yang berhubungan langsung yaitu antara pengirim, pengangkut, dan penerima.

Bentuk Perjanjian Angkutan Barang Kiriman Hantaran antara PT. KERETA API INDONESIA (PERSERO) dengan PT. X dibuat secara tertulis yang berisi tentang nama-nama para pihak dalam perjanjian, perjanjian tersebut juga memuat klausul-klausul yang dijabarkan dalam pasal-pasal, antara lain :

  1. Judul dan Para Pihak dalam Perjanjian;
  2. Definisi;
  3. Maksud dan tujuan;
  4. Ruang lingkup pekerjaan;
  5. Masa berlaku;
  6. Tarif dan biaya angkutan;
  7. Pajak dan biaya lainnya;
  8. Cara pembayaran biaya angkutan dan biaya lainnya;
  9. Pernyataan dan jaminan;
  10. Hak dan kewajiban para pihak;
  11. Larangan;
  12. Pengawalan;
  13. Pengaturan muatan;
  14. Denda dan sanksi;
  15. Ganti rugi;
  16. Penambahan kereta bagasi atau gerbong;
  17. Berakhirnya perjanjian;
  18. Force majeure;
  19. Penundaan pelaksanaan perjanjian;
  20. Hukum yang berlaku dan penyelesaian perselisihan;
  21. Keterpisahan;
  22. Kerahasiaan;
  23. Klaim dan pengawasan;
  24. Korespondensi;
  25. Dokumen perjanjian;
  26. Dan lain-lain.

 

DAFTAR PUSTAKA

BUKU :

E, Suherman., , Hukum Udara Indonesia dan Internasional, Bandung: Alumni, 1983

Hartono, Sri rezeki., Pengangkutan dan Hukum Pengakutan Darat, Semarang: UNDIP, 1980.

Kamaludin, Ekonomi Transportasi, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986.

Muhammad, Abdulkadir., Hukum Pengangkutan Niaga, Bandung: PT. Citra Aditya Baka, 2008.

Nasution, M. Nur, Manajemen Transportasi, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004.

Tjakranegara, Soegijatna, Hukum Pengangkutan Barang dan Penumpang, Jakarta : Rineka Cipta, 1995.

Purba, Radiks., Mengenal Asuransi Angkutan Darat dan Udara, Jakarta: Djambatan, 1997.

Salim, Manajemen Transportasi, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993.

Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa, 1979

 

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN:

Indonesia, Undang-Undang tentang Perkeretapian, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2007.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Kitab Undang-Undang Hukum Dagang

 

ARTIKEL INTERNET :

Emi Fitriya Harahap, Tanggung Jawab PT Kereta Api Indonesia (Persero) terhadap Penumpang Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 (Studi Pada PT Kereta Api (Persero) Divisi Regional I Sumatera Utara), (Medan: Skripsi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2009), dikutip dalam file:///F:/Tugas%20Desi/09E01509(1).pdf , diupload pada tanggal 25 Mei 2016, Pukul 11.00 WIB

 

FOTO-FOTO KEGIATAN

IMG_9023.JPGIMG_9024.JPGIMG_9027.JPG

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

MASYARAKAT YANG MEMILIKI HUKUM DAN KARAKTERISTIK HUKUM YANG UNIVERSAL

b-thumb-law.png

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Manusia mulai diatur oleh hukum sejak dalam masa kandungan bahkan seseorang yang telah meninggal dunia tetap masih diatur oleh hukum. Maka dari itu setiap manusia memunyai hak dan kewajiban di tambah lagi di dalam hidup bermasyarakat setiap manusia tidak akan terlepas dari hukum karna hukum yang mengatur pergaulan dalam bermasyarakat yang bertujuan menciptakan suasana yang kondisif serta keteraturan sosial.

Salah satu kebiasaan atau budaya manusia yaitu hidup secara berkelompok dan membuat serta menerapkan hukum dalam kelmpok masyarakat. Dan hukum yang diterapkan dalam masyarakat mengatur seluruh aspek ekonomi, politik, sosial dan budaya maka dari itu hukum dapat dikatakan bersifat universal.

Sementara itu hukum dengan aspek kebudayaan dan organisasi sosial yaitu unsur terpenting dalam membentuk hukum, karna keberadaan organisasi sosial tidak lepas dari adanya nilai norma dalam masyarakat.

1.2. Rumusan Masalah

  1. Apakah dalam setiap masyarakat terdapat hukum dan bagaimana karakteristik hukum yang universal?
  2. Bagaimana hubungan antara hukum dengan aspek kebudayaan dan organisasi sosial?

 

1.3. Tujuan Makalah

  1. Untuk mengetahui apakah dalam setiap masyarakat terdapat hukum dan bagaimana karakteristik hukum yang universal.
  2. Untuk mengetahui bagaimana hubungan antara hukum dengan aspek kebudayaan dan organisasi sosial.

 

1.4. Manfaat Makalah

  1. Sebagai bahan literatur dalam mempelajari ilmu hukum bagi mahasiswa.
  2. Sebagai bahan perbandingan karasteristik hukum yang universal dan yang tidak bersifat universal.
  3. Sebagai bahan informasi hubungan antara hukum dengan aspek kebudayaan dan organisasi.

 

BAB II

PEMBAHASAN

MASYARAKAT  YANG MEMILIKI HUKUM DAN KARAKTERISTIK HUKUM YANG UNIVERSAL

2.1. Masyarakat Dengan Hukum

Setiap manusia mempunyai sifat, watak, dan kehendak yang berbeda-beda dan dalam hubungan dengan sesama manusia dibutuhkan adanya kerjasama, tolong menolong dan saling membantu untuk memperoleh keperluan hidupnya. Kalau kepentingan itu selaras maka keperluan masing-masing akan mudah tercapai. Tetapi kalau tidak akan menimbulkan masalah yang mengganggu keseharian dan bila kepentingan tersebut yang kuatlah akan berkuasa dan menekan golongan yang lemah untuk memenuhi kehendaknya.

Karena itu di perlukan satu aturan yang mengatur setiap anggota dalam masyarakat. Maka dibuatlah aturan yang disebut norma, dengan norma tersebut setiap anggota masyarakat dengan sadar atau tidak sadar akan terpengaruh dan menekan kehendak pribadinya. Adanya aturan tersebut berguna agar tercapainya dalam tujuan masyarakat, memberi petunjuk mana yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan memberi petunjuk bagaimana cara berperilaku dalam masyarakat. Itulah dasar pembentukan hukum dari kebutuhan masyarakat akan adanya aturan yang mengatur tata cara kehidupan agar setiap kehidupan masyarakat dapat hidup selaras.

Sementara itu hubungannya antara hukum dan aspek kebudayaan dan organisasi sosial sangatlah erat kaitannya karena ini semua merupakan satu aspek penting dari unsur pembentukan unsur hukum itu sendiri sehingga bisa dikatakan sebagai salah satu nyawa hukum itu sendiri.

2.2. Karakteristik Hukum Yang Universal

Hukum yang universal adalah hukum yang luas yang dapat menjaga keseluruhan dan karakteristiknya adalah selalu dapat dipakai di mana saja. Masyarakat yang dapat menerima hukum dan menerapkan di masyarakat yang dapat dikatakan masyarakat modern namun masyarakat yang memberikan hukum itu termasuk dengan sendirinya merupakan masyarakat tradisional, contohnya seperti masyarakat pedalaman dayak yang melarang penduduknya merusak alam untuk menjaga keseimbangan alam sehingga bisa dipastikan bahwa hukum dapat masuk dengan sendirinya kedalam suatu kelompok masyarakat jadi bisa juga disimpulkan bahwa hukum adat dalam setiap masyarakat.

HUBUNGAN ANTARA HUKUM DENGAN ASPEK KEBUDAYAAN DAN ORGANISASI SOSIAL

2.3. Aspek, Kebudayaan, Dan Organisasi Sosial

Antara hukum, aspek kebudayaan, serta organisasi sosial merupakan faktor-faktor yang paling penting dalam penyelenggaraan dan penegakan hukum yang berlaku apabila salah satu dari tiga diatas tidak akan sulit terciptanya keteraturan sosial hukum dan lain-lain.

Lalu apa hubungan dari ketiga hubungan analisisnya merupakan bagian dari kebudayaan serta organisasi sosial merupakan faktor dari penegakan hukum tanpa ada budaya. Menghukum akan sulit untuk menegakan hukum tersebut, lalu organisasi merupakan pengawas hukum yang berlaku sehingga dapat dikatakan bahwa ketiganya merupakan peranan yang penting dalam penegakan hukum itu sendiri dan ketiganya saling berhubungan dari segi tugas masing-masing.

Tanpa ada salah satunya akan sulit tercipta keadilan hukum apabila diera sekarang ini banyak sekali organisasi yang bergerak di bidang hukum yang merupakan organisasi sosial dan bukan hanya bertugas sebagai pengawas tetapi juga penyambung aspirasi rakyat kepada pemerintah tentang keadilan ATS atau kasus. Jadi tidak mengherankan kalau ketiganya saling berhubungan dan saling melengkapi satu sama lain dalam menegakan hukum.

2.4. Hakekat Lembaga Sosial

Keberadaan lembaga sosial tidak lepas dari adanya nilai dan norma dalam masyarakat, dimana nilai merupakan sesuatu yang baik, di cita-citakan, dan dianggap penting oleh masyarakat. Oleh karenanya untuk mewujudkan nilai sosial masyarakat menciptakan aturan-aturan yang tegas yang disebut norma sosial.

Nilai dan norma inilah yang membatasi setiap perilaku manusia dalam kehidupan bersama. Sekalipun norma yang akan membentuk sekumpulan nilai norma yang telah mengalami proses instirutionalization menghasilkan lembaga sosial. Dan adapula sebuah organisasi memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

  • Formalis, merupakan ciri organisasi sosial yang menunjuk kepada adanya perumusan tertulis dari pada peraturan-peraturan, ketetapan-ketetapan, prosedur, kebijaksanaan, tujuan, strategi, dan seterusnya.
  • Hierarkhi, merupakan ciri organisasi yang menunjuk pada adanya suatu pola kekuasaan yang berwenang yang membentuk piramida, yang artinya ada orang-orang tertentu yang memiliki kedudukan dan kekuasaan sewenang-wenang yang lebih tinggi dari pada angggota biasa pada organisasi tersebut.
  • Sebenarnya dalam kompleksnya, dalam hal ini pada umumnya organisasi sosial memiliki banyak anggota adalah tidak langsung ( impersonal ), gejala ini bisa dikenal dengan gejala “birokrasi”.
  • Lamanya, ( duraton ) menunjuk pada dari bawah eksistensi suatu organisasi lebih lama dari pada keanggotaan orang-orang dalam organisasi itu.

 

BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Masyarakat adalah makhluk sosial yang mempunyai saling ketergantungan antara yang satu dengan lainnya baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam berkomunikasi yang baik, hidup secara bersama dan tidak ada manusia yang dapat hidup sendiri. Dan setiap manusia mempunyai sifat, watak, karateristik dan kehendak yang berbeda-beda, dalam hubungan manusia yang satu dengan lainnya dan dibutuhkan kerjasama dalam bidang ilmu yang dibutukannya dan saling membantu untuk keperluan hidupnya. Sehingga dapat terciptanya  masyarakat yang lebih baik dan dapat mengetahui hukum yang berlaku dalam daerah atau wilayah tertentu.

3.2. Saran

Sebagai bahan pertimbangan dari pada Makalah Antropologi hukum ini bahwa masyarakat harus banyak mempelajari tentang manfaat hukum terhadap kehidupan manusia secara meluas atau lebih banyak dan kebudayaan dalam bentuk perilaku masyarakat atau manusia sehingga dapat terlaksana hukum yang nyata dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku.

DAFTAR PUSTAKA

  1. Ramly Hutabarat, Kedudukan Antropologi Hukum dalam Konstitusi-Konstitusi Indonesia dan Peranannya dalam Pembinaan Hukum Nasional, Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Jakarta, Mei 2005.
  2. Bahtiar Effendy, Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik  Hukum di Indonesia, Paramadina, Jakarta, Oktober 1998.
  3. Jimly Ashshiddiqie, Reformasi Hukum Nasional, Seminar Penelitian Hukum tentang Eksistensi Hukum dalam Reformasi Sistem Nasional, Jakarta,  27 September 2000.
  4. Chamzawi, Memperjuangkan Berlakunya Hukum di Indonesia (Masih Perlukah?), Majalah Amanah, no.56, tahun XVIII, Nopember 2004/Ramadhan-Syawal 1425 H.

 

 

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG SERING DIUJI DAN DIBATALKAN OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI RI

mahkamah-konstitusi

BEBERAPA UNDANG-UNDANG YANG SERING DIUJI DI MK

Sejak Mahkamah Konstitusi (MK) didirikan di Indonesia pada tahun 2003, undang-undang atau pasal tertentu dari undang-undang yang dianggap merugikan hak konstitutional masyarakat dapat dibatalkan oleh MK melalui judicial review yang diajukan oleh warga negara.

Hal ini tentu saja merupakan pembaruan penting dalam dunia hukum di Indonesia, mengingat sebelum adanya MK, undang-undang yang merugikan masyarakat hampir tidak mungkin untuk diuji dan dibatalkan.

Lalu, undang-undang apa saja yang paling sering diuji di MK mulai dari berdirinya MK hingga saat ini? Berikut ulasannya:

1.UU Pemberantasan Korupsi

UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001. Undang-undang ini pertama kali diuji oleh Dawud Djatmiko, seorang yang terlilit kasus korupsi pengadaan lahan untuk proyek Jakarta Outer Ring Road, pada tanggal 15 Juli 2006 silam.

Dalam putusannya, MK mengabulkan sebagian permohonan Dawud dengan membatalkan ketentuan penjelasan Pasal 2 ayat (1). Dengan demikian setelah putusan MK tersebut, suatu perbuatan korupsi haruslah perbuatan yang melanggar suatu peraturan perundang-undangan. Tidak cukup hanya dengan menyatakan telah melanggar rasa keadilan dan norma yang hidup di masyarakat.

Setelah permohonan Dawud tersebut, tercatat ada tujuh permohonan lagi terhadap UU ini, namun ditolak oleh MK.

2.UU Ketenagakerjaan

UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ini cukup unik. Kalangan pengusaha maupun pekerja sama-sama mengkritik keberadaan undang-undang ini. Kalangan pengusaha misalnya yang menyatakan bahwa UU ini mengatur kompensasi pesangon yang cukup besar sehingga membebani pengusaha.

Sementara para pekerja salah satunya mengkritik UU ini karena dianggap melegalkan sistem outsourcing yang pada praktiknya tidak memberikan jaminan perlindungan pekerjaan bagi para buruh.

Lebih uniknya lagi, walaupun sama-sama keberatan dengan substansi UU ini, justru hanya kalangan buruh yang selalu mempersoalkan UU ini ke MK. Baik secara individu maupun melalui serikat pekerja. Sedangkan organisasi pengusaha (Apindo misalnya) tak pernah menggugat UU ini ke MK.

Tercatat ada sembilan kali UU ini diuji ke MK. Hanya ada satu permohonan yang ditolak, dan satu permohonan lagi yang belakangan dicabut oleh sang pemohonnya. Sisanya dikabulkan oleh MK yang berdampak pada dibatalkannya beberapa pasal dalam UU ini.

3.UU Advokat

Hingga saat ini, pengujian UU Advokat terhadap UUD 1945 di MK telah dilakukan sebanyak 9 (sembilan) kali, tapi hanya 1 permohonan yang dikabulkan oleh MK, yaitu: Perkara No. 006/PUU-II/2004.

Pada 10 Maret 2004, Mahkamah Konstitusi menerima permohonan pengujian Pasal 31 UU Advokat terhadap UUD 1945 yang diajukan oleh Tongat, Sumali, dan A. Fuad, masing-masing adalah Kepala, Sekretaris, dan staf pada Laboratorium Konsultasi dan Pelayanan Hukum (LKPH) Universitas Muhammadiyah Malang. Pasal tersebut dinilai sangat diskriminatif dan tidak adil bagi pihak LKPH dalam memberikan bantuan hukum kepada masyarakat.

Kemudian 13 Desember 2004, dengan suara 6:3 Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Pasal 31 UU Advokat dinyatakan tidak berlaku. Putusan ini lantas disambut gembira tak hanya oleh pihak LKPH Muhammadiyah Malang, namun juga oleh lembaga-lembaga serupa pada fakultas hukum perguruan tinggi negeri. Sebaliknya, putusan itu mendapat reaksi keras dari kalangan advokat. Mereka menilai putusan itu membuat masyarakat tak lagi terlindungi dari advokat liar.

4.Kitab Undang-undang Hukum Pidana

Sejak MK dibentuk hingga saat ini, KUHP telah diuji sebanyak 10 kali. Pengujian pertama terhadap KUHP diajukan tahun 2006 oleh Eggi Sudjana dan Pandapotan Lubis, dan yang terakhir kali diajukan September 2013.

Dari 10 pengujian yang diajukan, hanya dua permohonan yang dikabulkan oleh MK, yaitu:
a. Pengujian terhadap Pasal 134, 136bis, dan 137 (Putusan No. 013-022/PUU-IV/2006); dan
b. Pengujian terhadap Pasal 107, Pasal 154, Pasal 155, Pasal 160, Pasal 161, Pasal 207 dan Pasal 208 (Putusan No. 6/PUU-V/2007. MK hanya mengabulkan sebagian, yaitu membatalkan Pasal 154 dan 155)

Putusan No. 013-022/PUU-IV/2006

Dalam putusannya, MK merujuk praktik di Jepang, dimana tuduhan penghinaan terhadap kaisar dan keluarganya harus didahului adanya pengaduan, misalnya oleh perdana menteri. MK juga berpendapat, Pasal 134, 136 bis dan 137 KUHP bisa menghambat atau menjadi ganjalan dalam proses ketatanegaraan. Misalnya ketika muncul dugaan pelanggaran yang dilakukan Presiden, karena upaya-upaya klarifikasi tuduhan pelanggaran bisa dipandang sebagai penghinaan kepada Presiden/Wakil Presiden. MK menyatakan pasal 134, 136 bisa dan 137 KUHP bertentangan dengan UUD 1945.

Putusan No. 6/PUU-V/2007

Dalam putusan ini, MK menyatakan Pasal 154 dan 155 KUHP, yang juga dikenal dengan haatzai artikelen, bertentangan dengan UUD 1945. MK menemukan bahwa kedua pasal itu diadopsi oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda dari pasal 124a British India Penal Code Tahun 1915. Di India sendiri pasal itu sudah dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Indian Supreme Court dan East Punjab High Court karena bertentangan dengan konstitusi India.

MK lalu mengidentifikasi bahwa Pasal 154 dan Pasal 155 itu memang tidak rasional. Sebab seorang warganegara dari negara yang merdeka dan berdaulat tidak mungkin memusuhi negara atau pemerintahannya sendiri kecuali dalam hal makar. Dan soal makar, sudah diatur tersendiri dalam pasal lain di KUHP.

5.UU Kesehatan

Serupa dengan KUHP, Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (“UU Kesehatan”) telah diuji sebanyak 10 kali sejak MK didirikan. Dari 10 permohonan pengujian yang diajukan ke MK, hanya tiga yang dikabulkan yaitu:

  1. Pengujian terhadap Pasal 108 ayat (1) dan Penjelasan, serta Pasal 190 ayat (1) (Putusan No. 12/PUU-VIII/2010, dikabulkan sebagian)
  2. Pengujian terhadap Pasal 113 ayat (2), Pasal 114 beserta penjelasannya, dan Pasal 199 ayat (1) (Putusan No. 34/PUU-VIII/2010, dikabulkan sebagian)
  3. Pengujian terhadap Pasal 115 ayat (1) (Putusan no. 57/PUU-IX/2011, dikabulkan seluruhnya)

Putusan No. 12/PUU-VIII/2010

Dalam Putusan ini, MK menyatakan Pasal 108 ayat (1) UU Kesehatan sepanjang kalimat, ‘…harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai peraturan perundang-undangan’ bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mengikat, sepanjang tidak dimaknai bahwa “tenaga kesehatan” adalah tenaga kefarmasian.

Jika tidak ada tenaga kefarmasian, MK menegaskan, tenaga kesehatan tertentu dapat melakukan praktik kefarmasian secara terbatas. Seperti dokter, dokter gigi, bidan, dan perawat yang melakukan tugasnya dalam keadaan darurat yang mengancam keselamatan jiwa dan diperlukan tindakan medis segera untuk menyelamatkan pasien.

Putusan No. 34/PUU-VIII/2010

MK mewajibkan produsen dan importir rokok di Indonesia mencantumkan peringatan kesehatan dalam bentuk gambar, selain bentuk tulisan yang berlaku selama ini. Sebab, MK menghilangkan kata “dapat” dalam Penjelasan Pasal 114 UU Kesehatan yang selama ini ditafsirkan peringatan kesehatan dalam produk rokok bisa diberikan dalam bentuk tulisan atau gambar.

MK menegaskan, kata ‘dapat’ dalam Penjelasan Pasal 114 UU Kesehatan bertentangan dengan UUD 1945, sehingga peringatan kesehatan harus dimaknai dengan tulisan yang jelas, mudah terbaca, dan disertai gambar atau bentuk lainnya.

Selain itu, MK juga menyatakan frasa “berbentuk gambar” dalam Pasal 199 ayat (1) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Karena itu, setelah putusan ini, Pasal 199 ayat (1) berbunyi, “Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau memasukkan rokok ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan tidak mencantumkan peringatan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).”

Putusan No. 57/PUU-IX/2011

Dalam putusan ini, MK menghapus kata “dapat” yang tercantum dalam Penjelasan Pasal 115 ayat (1) UU Kesehatan bertentangan dengan UUD 1945. MK berpendapat, bahwa kata “dapat” berimplikasi pada ketiadaan proporsionalitas dalam pengaturan tentang “tempat khusus merokok” yang mengakomodasi antara kepentingan perokok untuk merokok dan kepentingan publik agar terhindar dari ancaman bahaya rokok bagi kesehatan sekaligus meningkatnya derajat kesehatan.

MK menegaskan, merokok adalah perbuatan yang secara hukum legal atau diizinkan, sehingga dengan kata “dapat” tersebut berarti pemerintah boleh menyediakan atau tidak menyediakan “tempat khusus untuk merokok.” Hal itu akan menghilangkan kesempatan bagi para perokok untuk merokok manakala pemerintah dalam implementasinya benar-benar tidak menyediakan “tempat khusus untuk merokok” di tempat kerja, di tempat umum, dan di tempat lainnya.

6.UU Kejaksaan

Hingga hari ini, UU Kejaksaan tercatat telah diuji terhadap UUD 1945 ke Mahkamah Konstitusi (MK) sebanyak 10 kali. Meski demikian, hanya 1 permohonan pengujian UU Kejaksaan yang dikabulkan (sebagian) oleh MK yaitu perkara No. 49/PUU-VIII/2010. Pemohonnya yaitu Yusril Ihza Mahendra.

Sebagaimana ditulis hukumonline, Yusril –sejak ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi Sisminbakum- mempersoalkan legalitas jabatan Jaksa Agung Hendarman Supandji. Yusril menuding Hendarman bukan Jaksa Agung yang sah. Sebab, dengan berakhirnya Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) I, 20 Oktober 2009 lalu, Hendarman belum diberhentikan hingga terbentuknya KIB II. Karenanya, Yusril menilai segala tindakannya, terutama terhadap kasus yang membelitnya, dianggap ilegal.

Yusril kemudian meminta MK menguji Pasal 19 (2) jo Pasal 22 ayat (1) UU Kejaksaan. Menurut Yusril, kedua pasal itu tak membatasi masa jabatan seorang Jaksa Agung. Mantan Menteri Hukum dan HAM itu berniat menguji konstitusionalitas penafsiran pasal tersebut dihubungkan dengan prinsip negara hukum sesuai Pasal 1 dan 28 D ayat (1) UUD 1945.

MK dalam putusannya pada 22 September 2010 memutuskan Pasal 22 ayat (1) huruf d UU No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan yang mengatur masa jabatan Jaksa Agung dinyatakan konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) sebelum dilakukannya legislative review yang berlaku prospektif ke depan. Artinya, masa jabatan Jaksa Agung dinyatakan konstitusional dengan tafsir berakhirnya masa jabatan Jaksa Agung berakhir bersamaan dengan masa jabatan Presiden yang mengangkatnya sesuai praktek ketatanegaraan di Indonesia.

 

BEBERAPA UNDANG-UNDANG YANG DITOLAK OLEH MK

1.UU Sumber Daya Air

Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan keberlakuan secara keseluruhan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA) karena tidak memenuhi enam prinsip dasar pembatasan pengelolaan sumber daya air. Demikian putusan dengan Nomor 85/PUU-XII/2013 dibacakan oleh Ketua MK Arief Hidayat pada Rabu (18/2) di Ruang Sidang Pleno MK.

“Mengabulkan permohonan Pemohon I, Pemohon II, Pemohon IV, Pemohon V, Pemohon VI, Pemohon VII, Pemohon VIII, Pemohon IX, Pemohon X, dan Pemohon XI untuk seluruhnya. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air bertentangan dengan UUD 1945,” urai Arief membacakan putusan yang diajukan oleh PP Muhammadiyah, Perkumpulan Vanaprastha dan beberapa pemohon perseorangan tersebut.

Dalam pendapat Mahkamah yang dibacakan oleh Wakil Ketua MK Anwar Usman, putusan terkait UU SDA juga telah dipertimbangkan dalam putusan Putusan Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan Nomor 008/PUU-III/2005. Dalam pertimbangannya, MK menyatakan bahwa sumber daya air sebagai bagian dari hak asasi, sumber daya yang terdapat pada air juga diperlukan manusia untuk memenuhi kebutuhan lainnya, seperti untuk pengairan pertanian, pembangkit tenaga listrik, dan untuk keperluan industri, yang mempunyai andil penting bagi kemajuan kehidupan manusia dan menjadi faktor penting pula bagi manusia untuk dapat hidup layak.

“Persyaratan konstitusionalitas UU SDA tersebut adalah bahwa UU SDA dalam pelaksanaannya harus menjamin terwujudnya amanat konstitusi tentang hak penguasaan negara atas air. Hak penguasaan negara atas air itu dapat dikatakan ada bilamana negara, yang oleh UUD 1945 diberi mandat untuk membuat kebijakan (beleid), masih memegang kendali dalam melaksanakan tindakan pengurusan (bestuursdaad), tindakan pengaturan (regelendaad), tindakan pengelolaan (beheersdaad), dan tindakan pengawasan (toezichthoudensdaad),” jelas Anwar.

Selain dua aspek tersebut, jaminan bahwa negara masih tetap memegang hak penguasaannya atas air itu menjadi syarat yang tak dapat ditiadakan dalam menilai konstitusionalitas UU SDA. Jaminan ini terlihat dalam enam prinsip dasar pembatasan pengelolaan sumber daya air. Keenam prinsip dasar tersebut, yakni pengguna sumber daya air untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari dan untuk pertanian rakyat tidak dibebani biaya jasa pengelolaan sumber daya air, sepanjang pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari dan untuk pertanian rakyat di atas diperoleh langsung dari sumber air.

Swasta Tidak Boleh Kuasai Pengelolaan Air

Kemudian, konsep hak dalam Hak Guna Air harus dibedakan dengan konsep hak dalam pengertian umum dan haruslah sejalan dengan konsep res commune yang tidak boleh menjadi objek harga secara ekonomi. Selain itu,Konsep Hak Guna Pakai Air dalam UU SDA harus ditafsirkan sebagai turunan (derivative) dari hak hidup yang dijamin oleh UUD 1945. Oleh karenanya, pemanfaatan air di luar Hak Guna Pakai Air, dalam hal ini Hak Guna Usaha Air, haruslah melalui permohonan izin kepada Pemerintah yang penerbitannya harus berdasarkan pada pola yang disusun dengan melibatkan peran serta masyarakat yang seluas-luasnya. Oleh karena itu, Hak Guna Usaha Air tidak boleh dimaksudkan sebagai pemberian hak penguasaan atas sumber air, sungai, danau, atau rawa.

Hak Guna Usaha Air merupakan instrumen dalam sistem perizinan yang digunakan Pemerintah untuk membatasi jumlah atau volume air yang dapat diperoleh atau diusahakan oleh yang berhak sehingga dalam konteks ini, izin harus dijadikan instrumen pengendalian, bukan instrumen penguasaan. “Dengan demikian, swasta tidak boleh melakukan penguasaan atas sumber air atau sumber daya air tetapi hanya dapat melakukan pengusahaan dalam jumlah atau alokasi tertentu saja sesuai dengan alokasi yang ditentukan dalam izin yang diberikan oleh negara secara ketat,” ujar Hakim Konstitusi Aswanto.

Petani Tidak Dikenai Biaya Pengelolaan SDA

Hal lain yang dipertimbangkan MK, terkait prinsip “penerima manfaat jasa pengelolaan sumber daya air wajib menanggung biaya pengelolaan” harus dimaknai sebagai prinsip yang tidak menempatkan air sebagai objek untuk dikenai harga secara ekonomi. Dengan demikian, tidak ada harga air sebagai komponen penghitungan jumlah yang harus dibayar oleh penerima manfaat. Di samping itu, prinsip ini harus dilaksanakan secara fleksibel dengan tidak mengenakan perhitungan secara sama tanpa mempertimbangkan macam pemanfaatan sumber daya air. “Oleh karena itu, petani pemakai air, pengguna air untuk keperluan pertanian rakyat dibebaskan dari kewajiban membiayai jasa pengelolaan sumber daya air,” sambung Aswanto.

Prinsip kelima, terkait hak ulayat masyarakat hukum adat yang masih hidup atas sumber daya air diakui, sesuai dengan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945. Adanya ketentuan tentang pengukuhan kesatuan masyarakat hukum adat yang masih hidup melalui Peraturan Daerah harus dimaknai tidak bersifat konstitutif melainkan bersifat deklaratif. Terakhir, lanjut Aswanto, pada prinsipnya pengusahaan air untuk negara lain tidak diizinkan. Pemerintah hanya dapat memberikan izin pengusahaan air untuk negara lain apabila penyediaan air untuk berbagai kebutuhan sendiri telah terpenuhi. Kebutuhan dimaksud, antara lain, kebutuhan pokok, sanitasi lingkungan, pertanian, ketenagaan, industri, pertambangan, perhubungan, kehutanan dan keanekaragaman hayati, olah raga, rekreasi dan pariwisata, ekosistem, estetika serta kebutuhan lain. “Berdasarkan seluruh pertimbangan sebagaimana diuraikan di atas tampak bahwa hak penguasaan oleh negara atas air adalah ‘ruh’ atau ‘jantung’ dari Undang-Undang SDA sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945,” tuturnya.

Dengan alasan tersebut, MK pun memeriksa pelaksanaan dari UU SDA, dalam hal ini Peraturan Pemerintah terkait dengan pengujian UU SDA sehingga apabila maksud tersebut ternyata bertentangan dengan penafsiran yang diberikan oleh Mahkamah, hal itu menunjukkan bahwa Undang-Undang yang bersangkutan memang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Meskipun Pemerintah telah menetapkan enam Peraturan Pemerintah untuk melaksanakan UU SDA a quo, namun menurut Mahkamah keenam Peraturan Pemerintah tersebut tidak memenuhi enam prinsip dasar pembatasan pengelolaan sumber daya air. Oleh karena permohonan para Pemohon berkaitan dengan jantung UU SDA maka permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

Dalam pokok permohonannya, para pemohon menjelaskan ada penyelewengan terhadap pertimbangan MK dalam putusan perkara 58-59-60-63/PUU-II/2004 dan perkara 8/PUU-III/2005, perihal pengujian UU Nomor 7/2004 tentang Sumber Daya Air. Penyelewengan norma tersebut  berdampak dalam pelaksanaannya yang cenderung membuka peluang privatisasi dan komersialisasi yang merugikan masyarakat. Sejak terbitnya PP No. 16/2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (PP SPAM), semakin menegaskan kuatnya peran swasta dalam pengelolaan air. Padahal, UU SDA menegaskan, pengembangan SPAM merupakan tanggung jawab pemerintah pusat/pemerintah daerah, sehingga penyelenggaranya adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN)/Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Hak Guna Pakai Air menurut UU SDA hanya dinikmati oleh pengelola yang mengambil dari sumber air, bukan para konsumen yang menikmati air siap pakai yang sudah didistribusikan. (Lulu Anjarsari)

2.UU Perkoperasian

Roh korporasi terus merasuk ke sendi-sendi kehidupan negara, termasuk jiwa usaha yang sesuai dengan kegotongroyongan koperasi. Gara-gara bernuansa korporasi, UU No. 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK). Tak tanggung-tanggung, yang dibatalkan adalah seluruh materi muatan Undang-Undang tersebut.

Selain karena berjiwa korporasi, UU Perkoperasian telah menghilangkan asas kekeluargaan dan gotong royong yang menjadi ciri khas koperasi. Menurut Mahkamah, UU Perkoperasian 2012 bertentangan dengan UUD 1945, dan menjadi tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat setelah putusan ini.

Untuk menghindari kekosongan hukum, Mahkamah menyatakan berlaku kembali UU Perkoperasian 1992. ”Undang-Undang No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian berlaku untuk sementara waktu sampai dengan terbentuknya UU yang baru,” kata Ketua Majelis Hakim Hamdan Zoelva saat membacakan putusan bernomor 28/PUU-XI/2013 di ruang sidang MK, Rabu (28/5).

Permohonan ini diajukan Gabungan Koperasi Pegawai Republik Indonesia (GPRI) Provinsi Jawa Timur, Pusat Koperasi Unit Desa (Puskud) Jawa Timur, Pusat Koperasi Wanita Jawa Timur (Puskowanjati), Pusat Koperasi An-Nisa Jawa Timur, Pusat Koperasi Bueka Assakinah Jawa Timur, Gabungan Koperasi Susu Indonesia, Agung Haryono, dan Mulyono. Mereka menguji Pasal 1 angka 1, Pasal 50 ayat (1), Pasal 55 ayat (1), Pasal 56 ayat (1), Pasal 66, Pasal 67, Pasal 68, Pasal 69, Pasal 70, Pasal 71, Pasal 72, Pasal 73, Pasal 74, Pasal 75, Pasal 76, Pasal 77, Pasal 80, Pasal 82, dan Pasal 83 UU Perkoperasian 2012.

Para pemohon menilai sejumlah pasal yang mengatur norma badan hukum koperasi, modal penyertaan dari luar anggota, kewenangan pengawas dan dewan koperasi itu dinilai mencabut roh kedaulatan rakyat, demokrasi ekonomi, asas kekeluargaan, kebersamaan yang dijamin konstitusi.

Misalnya, definisi koperasi menempatkan koperasi hanya sebagai ”badan hukum” dan/atau sebagai subjek berakibat pada korporatisasi koperasi. Membuka peluang modal penyertaan dari luar anggota yang akan dijadikan instrumen oleh pemerintah dan atau pemilik modal besar untuk diinvestasikan pada koperasi. Hal itu bentuk pengerusakan kemandirian koperasi. Karena itu, para pemohon meminta MK membatalkan pasal-pasal itu karena bertentangan dengan UUD 1945.

Mahkamah menilai Pasal 1 angka 1 UU Perkoperasian yang menyebut koperasi sebagai badan hukum tidak mengandung pengertian substantif, merujuk pada pengertian sebagai bangunan perusahaan khas. Hal tidak sejalan dengan koperasi seperti dimaksud Pasal 33 ayat (1) UUD 1945.

”Dalil pemohon bahwa pengertian koperasi mengandung individualisme, sehingga dalil pemohon beralasan menurut hukum,” kata anggota Majelis, Maria Farida Indrati saat membacakan pertimbangan hukumnya.

Pasal 50 ayat (1) huruf a, ayat (2), huruf a dan e dan Pasal 56 ayat (1) yang memberi tugas kepada pengawas untuk mengusulkan pengurus, menerima atau menolak anggota baru hingga memberhentikan anggota kontradiktif dengan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 29 ayat (2) yang menjadikan demokrasi dan persamaan sebagai nilai dasar kegiatan koperasi. ”Pasal itu bertentangan dengan prinsip demokrasi ekonomi,” tuturnya.

Maria melanjutkan Pasal 68 dan Pasal 69 yang mengharuskan anggota koperasi membeli sertipikat modal koperasi adalah norma yang tidak sesuai prinsip koperasi yang bersifat sukarela dan terbuka dan bertentangan dengan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945. ”Ini berarti orientasi koperasi telah bergeser ke arah usaha bersama sebagai modal (materil dan finansial) utamanya,” lanjutnya.

Ditegaskan Mahkamah UU Perkoperasian mengutamakan skema permodalan materiil dan finansial yang mengesampingkan modal sosial yang justru menjadi ciri fundamental koperasi sebagai suatu entitas khas pelaku ekonomi berdasarkan UUD 1945.

Karenanya, filosofi UU Perkoperasian ternyata tidak sesuai dengan hakikat susunan perekonomian sebagai usaha bersama dan berdasarkan asas kekeluargaan yang termuat dalam Pasal 33 ayat (1) UUD 1945. ”Pengertian koperasi itu ternyata telah dielaborasi dalam pasal-pasal lain dalam UU Perkoperasian, sehingga mereduksi atau bahkan menegasikan hak dan kewajiban anggota dengan menjadikan kewenangan pengawas terlalu luas.”

Akibatnya, menurut Mahkamah, koperasi menjadi sama dan tidak berbeda dengan perseroan terbatas. Koperasi menjadi kehilangan roh konstitusionalnya sebagai entitas pelaku ekonomi khas bangsa yang berfilosofi gotong royong. Mahkamah berpendapat meskipun permohonan pemohon hanya mengenai pasal tertentu, namun karena pasal tersebut mengandung materi muatan norma subtansial yang menjadi jantung UU Perkoperasian, maka harus dibatalkan seluruhnya.

”Sehingga jika hanya pasal-pasal tersebut yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai hukum mengikat maka akan menjadikan pasal-pasal lain tidak dapat berfungsi lagi,” kata Maria.

Usai persidangan, salah satu pemohon Wigatiningsih mengungkapkan pembatalan UU Perkoperasian sudah sejalan dengan jati diri koperasi. Karena itu, sejak putusan adanya putusan ini saat ini koperasi bukan lagi berbadan hukum yang pengoperasiannya lebih condong seperti Perseroan Terbatas (PT).

Begitupula, modal pengelolaan koperasi pun berasal dari anggota, bukanlah dari non-anggota (pihak asing). “Jadi kalau ada pemodal dari luar tentunya keuntungan bukan lagi milik anggota, malah menjadi milik pemodal. Jadi ada kekuasaan tertentu, tidak sama dengan ’ruh’ koperasi terdahulu,” kata Wigatiningsih.

Pemohon menyatakan tetap konsisten terhadap UU Koperasi yang lama hingga terbitnya peraturan yang baru.

 

DAFTAR PUSTAKA

http://www.putramelayu.web.id/2013/10/beberapa-undang-undang-yang-paling.html

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Berita&id=10634#.VwSy_KR97IU

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5385bfa83b01f/uu-perkoperasian-dibatalkan-karena-berjiwa-korporasi

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERKAITAN DENGAN PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN ANTI KORUPSI

Etika-dan-Religiusitas-Anti-Korupsi-580x330

 

BAB I

PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang

Korupsi adalah kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang dapat mendatangkan kerugian bagi kehidupan bangsa dan bernegara,  serta mengganggu stabilitas perekonomian  negara. Oleh karena itu, pemerintah selaku penyelenggara kehidupan bernegara perlu memberikan perlindungan dan kesejahteraan masyarakat melalui berbagai kebijakan yang teragenda dalam program pembangunan nasional. Dalam kaitan itu, bukti keseriusan pemerintah dalam upaya pencegahan  dan  pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,  Presiden telah menerbitkan Inpres Nomor 9 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2011.  Inpres ini memerinci langkah-langkah pencegahan dan pemberantasan korupsi yang  mencakup enam bidang strategi, yaitu pencegahan, penindakan, harmonisasi peraturan dan perundang-undangan, penyelamatan aset hasil korupsi, kerja sama internasional, dan mekanisme pelaporan, dengan merujuk pada Prioritas Pembangunan Nasional dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2010-2014 dan Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2011. Dalam rangka melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam Inpres tersebut, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan telah melakukan inventarisasi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan peraturan di bidang  Tindak Pidana Korupsi yang disusun dalam bentuk database peraturan perundang-undang yang dapat diakses melalui website http://www.djpp.kemenkumham.go.id, guna memudahkan partisipasi masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.

Rumusan Masalah

  1. Bagaimana Usaha Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi di Indonesia?
  2. Apa Landasan Hukum terkait dengan Pencegahan dan Pemberantasan Anti Korupsi.

Tujuan

  1. Dapat mengetahui Usaha Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi di Indonesia.
  2. Dapat mengetahui Landasan Hukum terkait dengan Pencegahan dan Pemberantasan Anti Korupsi.

 

BAB II

PEMBAHASAN

Usaha Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi di Indonesia

Terbitnya Instruksi Presiden (Inpres) 5/2004 telah mendorong berbagai prakarsa di lingkungan pemerintahan, baik di Pusat maupun Daerah. Melalui Inpres Percepatan Pemberantasan Korupsi tersebut Presiden mengamanati agar ada langkah-langkah strategis untuk mempercepat pencegahan dan pemberantasan korupsi (PPK). Secara perlahan namun pasti, upaya dan kesadaran PPK, baik di ranah kebijakan pemerintah, pembentukan dan konsolidasi kelembagaan, hingga pada tataran kesadaran masyarakat, memperlihatkan perkembangan yang cukup menggembirakan. Kebijakan-kebijakan menyangkut itu sebenarnya juga telah dirumuskan. Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi 2004 – 2009 yang merupakan pelaksanaan Instruksi Khusus diktum 11 butir 3 Inpres 5/2004, adalah salah satunya. Selain itu, ada pula prakarsa dari pemerintah daerah (Pemda) tertentu untuk mengembangkan Rencana Aksi Daerah (RAD) Pemberantasan Korupsi dan memelopori usaha-usaha pengembangan kebijakan inovatif yang terbukti mampu mencegah praktik korupsi di dalam birokrasi pemerintahan.

Itikad PPK tiada henti merupakan komitmen kuat untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih dan berwibawa. Pelaksanaan Inpres 5/2004 adalah awalnya, yang kemudian disusul dengan penerbitan Inpres 9/2011 (tentang Rencana Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2011) pada 12 Mei 2011 dan Inpres 17/2011 (tentang Aksi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2012) pada 19 Desember 2011.

Pemerintah juga telah meratifikasi United Nations Convention against Corruption (Konvensi PBB Antikorupsi, UNCAC) 2003 melalui UU 7/2006. 12 Strategi Nasional Pencegahan & Pemberantasan Korupsi Ratifikasi tersebut secara politis merupakan bentuk komitmen Indonesia kepada dunia internasional untuk turut berkhidmat dalam PPK, sekaligus sebagai konsolidasi ke dalam melalui penyesuaian-kembali langkahlangkah strategis yang dibutuhkan. Sepanjang empat tahun terakhir, Pemerintah menyusun Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi (Stranas PPK) yang mencakupi tujuan jangka panjang dan menengah. Stranas PPK adalah arah dan acuan dari berbagai upaya PPK yang lebih komprehensif bagi seluruh pemangku kepentingan. Acuan itu dibutuhkan agar berdampak konkret bagi peningkatan kesejahteraan, keberlangsungan pembangunan yang berkelanjutan, serta konsolidasi demokrasi.

Penyusunan Stranas PPK ditempuh melalui pelibatan aktif berbagai elemen pemangku kepentingan, baik masyarakat madani maupun pemerintah. Komitmen politik yang lebih kuat, strategi yang lebih sistematiskomprehensif, serta perumusan kebijakan yang lebih fokus-konsolidatif dalam rangka mendorong percepatan PPK telah dipahami oleh segenap pemangku kepentingan sebagai kerja tiada henti.

Stranas PPK memiliki visi jangka panjang dan menengah. Visi periode jangka panjang (2012-2025) adalah: “terwujudnya kehidupan bangsa yang bersih dari korupsi dengan didukung nilai budaya yang berintegritas”. Adapun untuk jangka menengah (2012-2014) bervisi “terwujudnya tatakepemerintahan yang bersih dari korupsi dengan didukung kapasitas pencegahan dan penindakan serta nilai budaya yang berintegritas”. Visi jangka panjang dan menengah itu akan diwujudkan di segenap ranah, baik di pemerintahan dalam arti luas, masyarakat sipil, hingga dunia usaha.

Visi dituangkan ke dalam misi-misi berikut: (1) membangun dan memantapkan sistem, mekanisme, kapasitas pencegahan dan penindakan korupsi yang terpadu secara nasional; (2) melakukan reformasi peraturan perundang-undangan nasional yang mendukung PPK secara konsisten, terkonsolidasi, dan tersistematis; (3) membangun dan mengonsolidasikan sistem dan mekanisme penyelamatan aset hasil korupsi melalui kerjasama nasional dan internasional secara efektif; (4) membangun dan menginternalisasikan budaya antikorupsi pada tata-kepemerintahan dan masyarakat; serta (5) mengembangkan dan mempublikasikan sistem pelaporan kinerja implementasi stranas PPK secara terintegrasi. 13 Strategi Nasional Pencegahan & Pemberantasan Korupsi Dengan tercapainya Visi dan Misi tersebut melalui pelaksanaan Stranas PPK secara keseluruhan diharapkan akan terjadi peningkatan pada Indeks Persepsi Korupsi di Indonesia, dan terdapat kesesuaian antara pengaturan antikorupsi di Indonesia dengan klausul UNCAC. Dalam jangka panjang tercapainya Visi dan Misi tersebut akan tercermin pula pada peningkatan indeks Sistem Integritas Nasional (SIN). Untuk mewujudkan Visi dan Misi tersebut maka telah ditetapkan enam strategi PPK. Di bawah ini adalah keenam strategi dimaksud:

  1. Pencegahan.

Korupsi masih terjadi secara masif dan sistematis. Praktiknya bisa berlangsung dimanapun, di lembaga negara, lembaga privat, hingga di kehidupan sehari-hari. Melihat kondisi seperti itu, maka pencegahan menjadi layak didudukkan sebagai strategi perdananya. Melalui strategi pencegahan, diharapkan muncul langkah berkesinambungan yang berkontribusi bagi perbaikan ke depan. Strategi ini merupakan jawaban atas pendekatan yang lebih terfokus pada pendekatan represif. Paradigma dengan pendekatan represif yang berkembang karena diyakini dapat memberikan efek jera terhadap pelaku tindak pidana korupsi (tipikor). Sayangnya, pendekatan represif ini masih belum mampu mengurangi perilaku dan praktik koruptif secara sistematis-massif. Keberhasilan strategi pencegahan diukur berdasarkan peningkatan nilai Indeks Pencegahan Korupsi, yang hitungannya diperoleh dari dua sub indikator yaitu Control of Corruption Index dan peringkat kemudahan berusaha (ease of doing business) yang dikeluarkan oleh World Bank. Semakin tinggi angka indeks yang diperoleh, maka diyakini strategi pencegahan korupsi berjalan semakin baik.

  1. Penegakan Hukum.

Masih banyak kasus korupsi yang belum tuntas, padahal animo dan ekspektasi masyarakat sudah tersedot sedemikian rupa hingga menanti-nanti adanya penyelesaian secara adil dan transparan. Penegakan hukum yang inkonsisten terhadap hukum positif dan prosesnya tidak transparan, pada akhirnya, berpengaruh pada tingkat kepercayaan (trust) masyarakat terhadap hukum dan aparaturnya. Dalam tingkat kepercayaan yang lemah, masyarakat tergiring ke arah opini bahwa hukum tidak lagi dipercayai sebagai wadah penyelesaian konflik. Masyarakat cenderung menyelesaikan konflik dan permasalahan mereka melalui 14 Strategi Nasional Pencegahan & Pemberantasan Korupsi caranya sendiri yang, celakanya, acap berseberangan dengan hukum. Belum lagi jika ada pihak-pihak lain yang memanfaatkan inkonsistensi penegakan hukum demi kepentingannya sendiri, keadaaan bisa makin runyam. Absennya kepercayaan di tengah-tengah masyarakat, tak ayal, menumbuhkan rasa tidak puas dan tidak adil terhadap lembaga hukum beserta aparaturnya. Pada suatu tempo, manakala ada upaya-upaya perbaikan dalam rangka penegakan hukum di Indonesia, maka hal seperti ini akan menjadi hambatan tersendiri. Untuk itu, penyelesaian kasus-kasus korupsi yang menarik perhatian masyarakat mutlak perlu dipercepat. Tingkat keberhasilan strategi penegakan hukum ini diukur berdasarkan Indeks Penegakan Hukum Tipikor yang diperoleh dari persentase penyelesaian setiap tahapan dalam proses penegakan hukum terkait kasus Tipikor, mulai dari tahap penyelesaian pengaduan Tipikor hingga penyelesaian eksekusi putusan Tipikor. Semakin tinggi angka Indeks Penegakan Hukum Tipikor, maka diyakini strategi Penegakan Hukum berjalan semakin baik.

  1. Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan.

Meratifikasi UNCAC, adalah bukti konsistensi dari komitmen Pemerintah Indonesia untuk mempercepat pemberantasan korupsi. Sebagai konsekuensinya, klausulklausul di dalam UNCAC harus dapat diterapkan dan mengikat sebagai ketentuan hukum di Indonesia. Beberapa klausul ada yang merupakan hal baru, sehingga perlu diatur/diakomodasi lebih-lanjut dalam regulasi terkait pemberantasan korupsi selain juga merevisi ketentuan di dalam regulasi yang masih tumpang-tindih menjadi prioritas dalam strategi ini. Tingkat keberhasilan strategi ini diukur berdasarkan persentase kesesuaian regulasi anti korupsi Indonesia dengan klausul UNCAC. Semakin mendekati seratus persen, maka peraturan perundang-undangan terkait pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia semakin lengkap dan sesuai dengan common practice yang terdapat pada negara-negara lain.

  1. Kerjasama Internasional dan Penyelamatan Aset Hasil Tipikor.

Berkenaan dengan upaya pengembalian aset hasil tipikor, baik di dalam maupun luar negeri, perlu diwujudkan suatu mekanisme pencegahan dan pengembalian aset secara langsung sebagaimana ketentuan UNCAC. Peraturan perundang-undangan Indonesia belum mengatur pelaksanaan 15 Strategi Nasional Pencegahan & Pemberantasan Korupsi dari putusan penyitaan (perampasan) dari negara lain, lebih-lebih terhadap perampasan aset yang dilakukan tanpa adanya putusan pengadilan dari suatu kasus korupsi (confiscation without a criminal conviction). Penyelamatan aset perlu didukung oleh pengelolaan aset negara yang dilembagakan secara profesional agar kekayaan negara dari aset hasil tipikor dapat dikembalikan kepada negara secara optimal. Keberhasilan strategi ini diukur dari persentase pengembalian aset hasil tipikor ke kas negara berdasarkan putusan pengadilan dan persentase tingkat keberhasilan (success rate) kerjasama internasional terkait pelaksanaan permintaan dan penerimaan permintaan Mutual Legal Assistance (MLA) dan Ekstradisi. Semakin tinggi pengembalian aset ke kas negara dan keberhasilan kerjasama internasional, khususnya dibidang tipikor, maka strategi ini diyakini berjalan dengan baik.

  1. Pendidikan dan Budaya Antikorupsi.

Praktik-praktik korupsi yang kian masif memerlukan itikad kolaboratif dari Pemerintah beserta segenap pemangku kepentingan. Wujudnya, bisa berupa upaya menanamkan nilai budaya integritas yang dilaksanakan secara kolektif dan sistematis, baik melalui aktivitas pendidikan anti korupsi dan internalisasi budaya anti korupsi di lingkungan publik maupun swasta. Dengan kesamaan cara pandang pada setiap individu di seluruh Indonesia bahwa korupsi itu jahat, dan pada akhirnya para individu tersebut berperilaku aktif mendorong terwujudnya tata-kepemerintahan yang bersih dari korupsi diharapkan menumbuhkan prakarsa-prakarsa positif bagi upaya PPK pada khususnya, serta perbaikan tata-kepemerintahan pada umumnya. Tingkat keberhasilan strategi ini diukur berdasarkan Indeks Perilaku Antikorupsi yang ada dikalangan tata-kepemerintahan maupun individu di seluruh Indonesia. Semakin tinggi angka indeks ini, maka diyakini nilai budaya anti korupsi semakin terinternalisasi dan mewujud dalam perilaku nyata setiap individu untuk memerangi tipikor.

  1. Mekanisme Pelaporan Pelaksanaan Pemberantasan Korupsi.

Strategi yang mengedepankan penguatan mekanisme di internal Kementerian/ Lembaga, swasta, dan masyarakat, tentu akan memperlancar aliran data/ informasi terkait progres pelaksanaan ketentuan UNCAC. Konsolidasi dan publikasi Informasi di berbagai media, baik elektronik maupun 16 Strategi Nasional Pencegahan & Pemberantasan Korupsi cetak, termasuk webportal PPK, akan mempermudah pengaksesan dan pemanfaatannya dalam penyusunan kebijakan dan pengukuran kinerja PPK. Keterbukaan dalam pelaporan kegiatan PPK akan memudahkan para pemangku kepentingan berpartisipasi aktif mengawal segenap upaya yang dilakukan oleh pemerintah, lembaga publik maupun sektor swasta. Keberhasilannya diukur berdasarkan indeks tingkat kepuasan pemangku kepentingan terhadap laporan PPK. Semakin tinggi tingkat kepuasan pemangku kepentingan, maka harapannya, semua kebutuhan informasi dan pelaporan terkait proses penyusunan kebijakan dan penilaian progres PPK dapat semakin terpenuhi sehingga upaya PPK dapat dikawal secara berkesinambungan dan tepat sasaran.

Landasan Hukum terkait dengan Pencegahan dan Pemberantasan Anti Korupsi

Korupsi adalah kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang dapat mendatangkan kerugian bagi kehidupan bangsa dan bernegara,  serta mengganggu stabilitas perekonomian  negara. Oleh karena itu, pemerintah selaku penyelenggara kehidupan bernegara perlu memberikan perlindungan dan kesejahteraan masyarakat melalui berbagai kebijakan yang teragenda dalam program pembangunan nasional.

Dalam kaitan itu, bukti keseriusan pemerintah dalam upaya pencegahan  dan  pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,  Presiden telah menerbitkan Inpres Nomor 9 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2011.  Inpres ini memerinci langkah-langkah pencegahan dan pemberantasan korupsi yang  mencakup enam bidang strategi, yaitu pencegahan, penindakan, harmonisasi peraturan dan perundang-undangan, penyelamatan aset hasil korupsi, kerja sama internasional, dan mekanisme pelaporan, dengan merujuk pada Prioritas Pembangunan Nasional dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2010-2014 dan Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2011. Dalam rangka melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam Inpres tersebut, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan telah melakukan inventarisasi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan peraturan di bidang  Tindak Pidana Korupsi yang disusun dalam bentuk database peraturan perundang-undang yang dapat diakses melalui website http://www.djpp.kemenkumham.go.id, guna memudahkan partisipasi masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.

Daftar Peraturan Perundang-undangan di bidang Tindak Pidana Korupsi

NO. NOMOR PERATURAN JUDUL PERATURAN
UNDANG – UNDANG
1 Undang-Undang Nomor 11
Tahun 1980
Tindak Pidana Suap
2 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
3 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994 Perubahan UU 6-1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan
4 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
5 Undang-Undang 31 Tahun 1999 Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
6 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 Perubahan Kedua UU 6-1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan
7 Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001
Perubahan Atas Undang-undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
8 Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2002
Kepolisian Negara Republik Indonesia
9 Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
10 Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003
Mahkamah Konstitusi
11 Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2004
Kejaksaan Republik Indonesia
12 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana
13 Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2006
Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi PBB Menentang Korupsi, 2003)
14 Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2006
Badan Pemeriksa Keuangan
15 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata cara Perpajakan
16 Undang-Undang Nomor 14
Tahun 2008
Keterbukaan Informasi Publik
17 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009 Pengesahan United Nations Convention Against Transnational Organized Crime (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional Yang Terorganisasi)
18 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Pelayanan Publik
19 Undang-Undang Nomor 46
Tahun 2009
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
20 Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009
Kekuasaan Kehakiman
21 Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2010
Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
22 Undang-Undang No. 8
Tahun 2010
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
22 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi
PERATURAN PEMERINTAH
1 Peraturan Pemerintah
Nomor 19 Tahun 2000
Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
2 Peraturan Pemerintah
Nomor 71 Tahun 2000
Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
3 Peraturan Pemerintah
Nomor 57 Tahun 2003
Tata Cara Perlindungan Khusus Bagi Pelapor dan Saksi Tindak Pidana Pencucian Uang
4 Peraturan Pemerintah
Nomor 63 Tahun 2005
Sistem Manajemen Sumber Daya Manusia Komisi Pemberantasan Korupsi
5 Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006 Pelaporan Keuangan Dan Kinerja Instansi Pemerintah
6 Peraturan Pemerintah
Nomor 29 Tahun 2006
Hak Keuangan Kedudukan Protokol Dan Perlindungan Keamanan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi
7 Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 Sistem Pengendalian Intern Pemerintah
8 Peraturan Pemerintah
Nomor 36 Tahun 2009
Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2006 tentang Hak Keuangan, Kedudukan Protokol, Dan Perlindungan Keamanan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi
PERATURAN PRESIDEN
1 Peraturan Presiden Nomor 49 Tahun 2005 Uang Kehormatan Bagi Hakim Pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
2 Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2006 Honorarium Bagi Ketua, Wakil Ketua, Anggota, dan Sekretaris Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
3 Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
4 Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025
5 Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2010 Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 49 Tahun 2005 Tentang Uang Kehormatan Bagi Hakim Pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
KEPUTUSAN PRESIDEN
1 Keputusan Presiden
Nomor 1 Tahun 2004
Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
2 Keputusan Presiden
Nomor 45 Tahun 2004
Pengalihan Organisasi, Administrasi, dan Finansial Sekretariat Jenderal Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara ke Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
3 Keputusan Presiden
Nomor 59 Tahun 2004
Pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
4 Keputusan Presiden
Nomor 10 Tahun 2007
Pengakhiran Tugas dan Pembubaran Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
INSTRUKSI PRESIDEN
1 Intruksi Presiden
Nomor 30 Tahun 1998
Pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
2 Intruksi Presiden
Nomor 2 Tahun 2004
Inpres 2/2004 Dukungan Kelancaran Pelaksanaan Proses Hukum Oleh Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Dan Penyelenggaraan Pemerintahan Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
3 Intruksi Presiden
Nomor 5 Tahun 2004
Percepatan Pemberantasan Korupsi
4 Intruksi Presiden
Nomor 9 Tahun 2011
Rencana Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2011
PERATURAN MENTERI
1 Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor M.HH-01.PW.02.03 Pedoman Penetapan Wilayah Bebas Korupsi (WBK) Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
2 Permen PAN dan Reformasi Birokrasi Nomor 7 Tahun 2010 Pedoman Penilaian Kinerja Unit Pelayanan Publik
3 Permen PAN dan reformasi Birokrasi Nomor 20 Tahun 2010 Road Map Reformasi 2010-2014
4 Permen PAN dan Reformasi Birokrasi Nomor 29 Tahun 2010 Pedoman Penyusunan Penetapan Kinerja dan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah

 

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Visi dan Misi Stranas PPK harus bisa diturunkan ke dalam level implementasi. Untuk itulah dibutuhkan strategi. Kini, enam strategi nasional telah dirumuskan, yakni: (1) melaksanakan upaya-upaya pencegahan, (2) melaksanakan langkah-langkah strategis di bidang penegakan hukum, (3) melaksanakan upaya-upaya harmonisasi penyusunan peraturan perundang-undangan di bidang pemberantasan korupsi dan sektor terkait lain, (4) melaksanakan kerjasama internasional dan penyelamatan aset hasil tipikor, (5) meningkatkan upaya pendidikan dan budaya anti korupsi, (6) meningkatkan koordinasi dalam rangka mekanisme pelaporan pelaksanaan upaya pemberantasan korupsi. Ke-enam strategi tersebut selaras dengan upaya pencapaian indikator hasil utama (Key Result Indicator) Stranas PPK, yaitu: (1) Indeks Persepsi Korupsi, (2) Kesesuaian regulasi Indonesia dengan ketentuan UNCAC, dan (3) Indeks Sistem Integritas Nasional. Perbaikan pada setiap strategi diyakini akan berpengaruh terhadap membaiknya indikator hasil utama stranas PPK tersebut.

Bukti keseriusan pemerintah dalam upaya pencegahan  dan  pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,  Presiden telah menerbitkan Inpres Nomor 9 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2011.  Inpres ini memerinci langkah-langkah pencegahan dan pemberantasan korupsi yang  mencakup enam bidang strategi, yaitu pencegahan, penindakan, harmonisasi peraturan dan perundang-undangan, penyelamatan aset hasil korupsi, kerja sama internasional, dan mekanisme pelaporan, dengan merujuk pada Prioritas Pembangunan Nasional dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2010-2014 dan Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2011.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

 

 

PRINSIP-PRINSIP TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT

download

Dalam hukum pengangkutan dikenal adanya lima prinsip tanggung jawab pengangkut yaitu:
1.Tanggung Jawab Praduga Bersalah (Presumtion of Liabelity)
2.Tanggung Jawab Atas Dasar Kesalahan (Based on Fault or Negligence)
3.Tanggung Jawab Pengangkut Mutlak (Absolut Liability)
4.Pembatasan Tanggung Jawab Pengangkut (Limitation of Libelity)
5.Presumtion of Non Liability

a.Tanggung Jawab Praduga Bersalah (Presumtion of Liability)
Menurut prinsip ini, ditekankan bahwa selalu bertanggung jawab atas setiap kerugian yang timbul pada pengangkutan yang diselenggarakannya, tetapi jika pengangkut dapat membuktikan bahwa dia tidak bersalah, maka dia dibebaskan dari tanggung jawab membayar ganti rugi kerugian itu.
Beban pembuktian ini diberikan kepada pihak yang dirugikan dan bukan pada pengangkut. Hal ini diatur dalam pasal 1365 KUHPer tentang perbuatan melawan hukum (illegal act) sebagai aturan umum dan aturan khususnya diatur dalam undang-undang tentang masing-masung pengangkutan.
Prinsip ini hanya dijumpai dalam 86 ayat 2 Undang-undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran, yang menyatakan:
“jika perusahaan angkutan perairan dapat membuktikan bahwa kerugian sebagaimana dimaksud aya 1 huruf b: musnah, hilang atau rusaknya barang yang diangkut; c. Keterlambatan angkutan penumpang, dan atau barang yang diangkut; d. Kerugian pihak ketiga bukan disebabkan oleh kesalahannya, maka dia dapat dibebaskan sebagian atau seluruh dari tanggung jawabnya. Walaupun hanya terdapat pada pengangkutan perairan, bukan berarti pada pengangkutan darat dan pengangkutan udara tidak dibolehkan. Dalam perjanjian pengangkutan, perusahaan angkutan dan pengirim boleh menjanjikan prinsip tanggung jawab praduga, biasanya dirumuskan dengan “(kecuali jika perusahaan angkutan dapat membuktikan bahwa kerugian itu dapat karena kesalahannya)”.
Dalam KUHD juga menganut prinsip tanggung jawab karena praduga bersalah. Dalam ketentuan pasal 468 ayat 2 KUHD yaitu, “apabila barang yang diangkut itu tidak diserahkan sebagian atau seluruhnya atau rusak, pengangkut bertanggung jawab mengganti kerugian kepada pengirim, kecuali dia dapat membuktikan bahwa diserahkan sebagian atau seluruh atau rusaknya barang itu karena peristiwa yang tidak dapat dicegah atau tidak dapat dihindari terjadinya.”
Dengan demikian jelas bahwa dalam hukum pengangkutan di Indonesia, prinsip tanggung jawab karena kesalahan dan karena praduga bersalah keduanya dianut. Tetapi prinsip tanggung jawab karena kesalahan adalah asas, sedangkan prinsip tanggung jawab karena praduga adalah pengecualian, artinya pengangkut bertanggung jawab atas setiap kerugian yang timbul dalam penyelenggaraan pengangkutan, tetapi jika pengangkut berhasil membuktikan bahwa dia tidak bersalah atau lalai, maka dia dibebaskan dari tanggung jawab.
Beberapa pasal dalam Undang-undang Pengangkutan Tahun 1992 yang mengatur tentang prinsip tanggung jawab praduga bersalah adalah:
1.Pasal 45 UU Nomor 14 Tahun 1992 tentang Angukutan Lalu Lintas Jalan.
2.Pasal 28 ayat 1, 2 UU Nomor 13 Tahun 1992 tentang Perkereta Apian.
3.Pasal 43 ayat 1b dan pasal 44 UU No. 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan.

b.Tanggung Jawab atas Dasar Kesalahan (Based on Fault or Negligence)
Dapat dipahami, dalam prinsip ini jelas bahwa setiap pengangkut harus bertanggung jawab atas kesalahannya dalam penyelenggaraan pengangkutan dan harus mengganti rugi dan pihak yang dirugikan wajib membuktikan kesalahan pengangkut. Beban pembuktian ini diberikan kepada pihak yang dirugikan dan bukan pada pengangkut.9 Hal ini diatur dalam pasal 1365 KUHPer tentang perbuatan melawan hukum (illegal act) sebagai aturan umum dan aturan khususnya diatur dalam undang-undang tentang masing-masung pengangkutan.
Dalam KUHD, prinsip ini juga dianut, tepatnya pada pasal 468 ayat (2). Pada pengangkutan di darat yang menggunakan rel kereta api, tanggung jawab ini ditentukan dalam pasal 28 UU nomor 23 tahun 2007 tentang Perkeretaapian. Pada pengangkutan di darat yang melalui jalan umum dengan kendaraan bermotor, tanggung jawab ini di tentukan dalam pasal 28, pasal 29, pasal 31 dan pasal 45 UU nomor 14 tahun 1992 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan.
Pada pengangkutan di laut dengan menggunakan kapal, tanggung jawab ini di tentukan dalam pasal 86 UU nomor 21 tahun 1992 tentang Pelayaran. Dan berkaitan dengan angkutan udara, prinsip ini dapat ditemukan dalam pasal 43-45 Peraturan Pemerintah nomor 40 tahun 1995 tentang pengangkutan udara.10

c.Tanggung Jawab Pengangkut Mutlak (Absolut Liability)
Pada prinsip ini, titik beratnya adalah pada penyebab bukan kesalahannya. Menurut prinsip ini, pengangkut harus bertanggung jawab atas setiap kerugian yang timbul dalam pengangkutan yang diselenggarakan tanpa keharusan pembuktian ada tdaknya kesalahan pengangkut.
Prinsip ini tidak mengenal beban pembuktian, unsur kesalahan tak perlu dipersoalkan. Pengangkut tidak mungkin bebas dari tanggung jawab dengan alasan apapun yang menimbulkan kerugian itu.prinsip ini dapat dapat dirumuskan dengan kalimat: pengangkut bertanggung jawab atas setiap kerugian yang timbul karena peristiwa apapun dalam penyelenggaraan pengangkutan ini.
Dalam peraturan perundang-undangan mengenai pengangkutan, ternyata prinsip tanggung jawab mutlak tidak diatur, mungkin karena alasan bahwa pengangkut yang berusaha dibidang jasa angkutan tidak perlu di bebani dengan resiko yang terlalu berat. Akan tetapi tidak berarti bahwa pihak-pihak tidak boleh menggunakan prinsip ini dalam perjanjian pengangkutan. Para pihak boleh saja menjanjikan penggunaan prinsip ini untuk kepentingan praktis penyelesaian tanggung jawab, berdasarkan asas kebebasan berkontrak. Jika prinsip ini digunakan maka dalam perjanjian pengangkutan harus dinyatakan dengan tegas, misalnya pada dokumen pengangkutan.

d.Pembatasan tanggung jawab pengangkut (limitation of liability)
Bila jumlah ganti rugi sebagaimana yang ditentukan oleh pasal 468 KUHD itu tidak dibatasi, maka ada kemungkinan pengangkut akan menderita rugi dan jatuh pailit. Menghindari hal ini,, maka undang-undang memberikan batasan tentang ganti rugi. Jadi, pembatasan ganti rugi dapat dilakukan oleh pengangkut sendiri dengan cara mengadakan klausula dalam perjanjian pengangkutan, konosemen atau charter party, dan oleh pembentuk undang-undang. Hal ini diatur dalam pasal 475, 476 dan pasal 477 KUHD.11
Mengenai pembatasan tanggung jawab pengangkut dalam angkutan udara, diatur dalam pasal 24 ayat (2), pasal 28, pasal 29 ayat (1) dan pasal 33 Ordonansi Pengangkutan Udara. Pasal 30 merupakan pembatasan tanggung jawab yaitu banwa tanggung jawab pengangkut udara dibatasi sampai jumlah Rp.12.500,- per penumpang. Pasal 24 merupakan pembatasan siapa-siapa saja yang berhak menerima ganti rugi, yang dalam hal ini adalah : Suami/istri dari penumpang yang tewas,Anak atau anak-anaknya dari si mati Orang tua dari si mati. Pasal 28 menentuk in bahwa pengangkut udara tidak bertanggung jawab dalam hal kelambatan, pasal ini berbunyi “Jika tidak ada persetujuan Ijin, maka pengangkut bertanggung jawab untuk kerugian yang timbul karena kelambatan dalam pengangkutan penumpang, bagasi dan barang”.
Satu pasal lain mengenai pembatasan tanggung jawab pihak pengangkut adalah pasal 33, dimana pasal tersebut menentukan gugatan mengenai tanggung jawab atas dasar apapun juga hanya dapat diajukan dengan syarat-syarat dan batas-batas seperti yang dimaksudkan dalam peraturan ini.
Dengan terbatasnya gugatan mengenai tanggung jawab dari pihak pengangkut, maka terbatas pula tanggung jawab pihak pengangkut. Pembebasan Tanggung Jawab Pengangkut Dalam Ordonansi Pengangkutan Udara yang memuat ketentuan mengenai pembebasan adalah pasal 1 ayat (1), pasal 29 avat (1) dan pasal 36. Pasal 36 menemukan bahwa pengangkut bebas dari tanggungjawabnya dalam hal setelah dua tahun penumpang yang menderita kerugian tidak mengajukan tuntutannya.
Pasal 36 berbunyi “Gugatan mengenai tanggung jawab pengangkut harus diajukan dalam jangka waktu dua tahun terakhir mulai saat tibanya di tempat tujuan, atau mulai dari pesawat Udara seharusnya tiba, atau mulai pengangkutan Udara diputuskan jika tidak ada hak untuk menuntut dihapus.
Selain itu ada hal-hal yang membuat pengangkut tidak bertanggung jawab apabila timbul suatu keadaan yang sama sekali tidak diduga sebelumnya, contohnya adalah sebagai berikut : bahaya perang, sabotase, kebakaran, kerusuhan, kekacauan dalam negeri. Asuransi tanggung jawab dibidang pengangkutan udara didasarkan atas prinsip terjadinya peristiwa asuransi tersebut karena mencakup kerugian-kerugian yang terjadi selama jangka waktu asuransi dan dilandasi kerugian yang paling dekat berdasar atas produk yang keliru.
Pada Undang-undang No 1 tahun 2009 pengaturan mengenai tanggung jawab pengangkut dapat dilihat pada pasal 141 – 147.
Pasal 141
(1)Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap, atau luka-luka yang diakibatkan kejadian angkutan udara di dalam pesawat dan/atau naik turun pesawat udara.
(2)Apabila kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) timbul karena tindakan sengaja atau kesalahan dari pengangkut atau orang yang dipekerjakannya, pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang timbul dan tidak dapat mempergunakan ketentuan dalam undang-undang ini untuk membatasi tanggung jawabnya.
Aturan ini menggunakan Prinsip Tanggung jawab Mutlak (Strict Liability) , dimana pada ayat tersebut disebutkan bahwa pengangkut dikenai tanggung jawab tanpa melihat ada tau tidaknya kesalahan yang dari pengangkut.
Pada Ordonansi Pengangkutan Udara 1939, pengangkut masih dapat menyangkal keharusan bertanggung jawab asal dapat membuktikan bahwa pengangkut telah mengambil tindakan untuk menghindarkan kerugian atau bahwa pengangkut tidak mungkin untuk mengambil tindakan tersebut. Hal ini menggambarkan prinsip atas dasar Praduga, seperti yang disebut dalam pasal 24 ayat (1), 25 ayat (1), 28 dan 29 OPU; Pengangkut tidak bertanggungjawab untuk kerugian, apabila:
1.ia dapat membuktikan bahwa ia dan semua buruhnya telah mengambil segala tindakan yang perlu untuk menghindarkan kerugian;
2.ia dapat membuktikan bahwa ia tidak mungkin mengambil tindakan pencegahan itu;
3.kerugian itu disebabkan oleh kesalahan yang menderita itu sendiri;
4.kesalahan penderita kerugian membantu terjadinya kerugian itu
Dari penjelasan diatas, aturan mengenai tanggung jawab tadi merupakan salah satu bentuk perlindungan hukum bagi para pihak khususnya pengguna jasa angkutan udara. Tanggung jawab yang ditegaskan dalam undang-undang tadi akan meningkatkan kualitas dalam pemberian kenyamanan, pelayanan serta keselamatan bagi penumpang. Artinya secara normatif perlindungan hukum bagi penumpang telah ada, tinggal bagaimana pelaksanaan dari aturan tadi.12

e.Presumtion of non Liability
Dalam prinsip ini, pengangkut dianggap tidak memiliki tanggung jawab.13 Dalam hal ini, bukan berarti pengangkut membebaskan diri dari tanggung jawabnya ataupun dinyatakan bebas tanggungan atas benda yang diangkutnya, tetapi terdapat pengecualian-pengecualian dalam mempertanggungjawabkan suatu kejadian atas benda dalam angkutan. Pengaturan ini ditetapkan dalam :
1. pasal 43 ayat 1 b UU penerbangan
2. pasal 86 UU pelayaran

daftar pustaka

http://aishkhuw.blogspot.co.id/2010/10/prinsip-tanggung-jawab-pengangkut-dalam.html
Abdul Kadir Muhammad, 2008. Hukum Pengangkutan Niaga, cet 4Bandung : PT Citra Aditya Bakti.
Abdul Kadir Muhammad. 1991. Hukum Pengangkut Darat, laut dan Udara, (Jakarta : Cipta Aditya Bahkti
H.M.N Purwosutjipto. 2000. Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 5. Cet. 5. Jakarta : Penerbit Djambatan
http://akubukanmanusiapurba.blogspot.com/2010/07/perlindungan-hukum-bagi-pengguna-jasa.html diakses pada 10 Oktober 2010
http://balianzahab.wordpress.com/makalah-hukum/hukum-pengangkutan/pengangkutan-udara-dengan-asuransi/ diakses pada 10 Oktober 2010
Musa Taklima, Pengertian, Fungsi Dan Kegunaan Pengangkutan. Disampaikan dalam perkuliahan pertama hukum pengangkutan dan transportasi hukum bisnis syariah tanggal 22 september 2010
Rahayu Hartini. 2007. Hukum Pengangkutan, Pengangkutan Darat Melalui Jalan Umum dan Kereta Api, Pengangkutan Laut Serta Pengangkutan Udara di Indonesia. Malang : UMM Press
Sution Usman Adji, dkk. 1991. Hukum Pengangkutan di Indonesia, cet.2 Jakarta : PT Rinka Cipta,
Sutiono Usman Adji, dkk. 1990. Hukum Pengangkutan di Indonesia. Bandung : Rineka Citra

 

MATA KULIAH : HUKUM TRANSPORTASI

DOSEN : SURAJIMAN, SH, MHum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS NASIONAL

PERJANJIAN PENGANGKUTAN DALAM KUHPERDATA

Deal2

PENGERTIAN PERJANJIAN PENGANGKUTAN

1. Sifat hukum perjanjian pengangkutan adalah pelayanan berkala.
Dalam melaksanakan perjanjian pengangkutan itu, hubungan kerja antara pengirim dengan pengangkut tidak terus menerus, tetapi hanya kadang kala, kalau pengirim membutuhkan pengangkutan untuk mengirim barang. Hubungan semacam ini disebut “pelayanan berkala” sebab pelayanan itu tidak bersifat tetap, hanya kadang kala saja, sebab pengirim membutuhkan pengangkutan. Perjanjian yang bersifat “pelayanan berkala” ini disinggung dalam pasal 1601 KUHPerdata. (Ibid.)

2. Perjanjian pengangkutan tidak bersifat pemborongan.
Sifat hukum perjanjian pengangkutan bukan pelayanan berkala tapi pemborongan sebagaimana dimaksud pasal 1601 B KUH Perdata.

Pendapat ini didasarkan atas ketentuan Pasal 1617 KUH Perdata (Pasal penutup dari bab VII A tentang pekerjaan pemborongan). Namun pada waktu pembentuk undang-undang menetapkan pasal-pasal ini tidak memikirkan adanya “perjanjian pengangkutan”. Ketentuan pasal 1608, 1647, dan 1648 tidak bisa diterapkan pada perjanjian pengangkutan. Kecuali sifat “pekerjaan” yang dilakukan oleh pemborong. Pembentuk undang-undang menghendaki pekerjaan yang dilakukan oleh pemborong itu “dapat diraba” (tastbaar) yaitu yang tadinya tidak ada menjadi ada. Sedangkan pekerjaan yang dilakukan oleh pengangkut adalah suatu jasa dan tidak menimbulkan barang baru. Dengan penjelasan ini maka dapat disimpulkan bahwa perjanjian pengangkutan tidak bersifat pemborongan. (Ibid, hal. 8-9.)

3. Sifat hukum perjanjian pengangkutan adalah campuran.
Perjanjian pengangkutan merupakan perjanjian campuran karena mempunyai unsur pelayanan berkal (pasal 1601 –b KUHPerdata), unsur penyimpanan (bewargeving), dan unsur pemberian kuasa (lastgeving). (Ibid, hal. 9.)

R. Subekti mengatakan yang dimaksud dengan perjanjian pengangkutan yaitu suatu perjanjian dimana satu pihak menyanggupi untuk dengan aman membawa orang/barang dari satu tempat ke tempat lain, sedangkan pihak lain menyanggupi akan membayar ongkosnya. (R. Subekti, Aneka Perjanjian, PT Citra Aditya, Bandung 1995, hal. 69.)

ASAS PERJANJIAN PENGANGKUTAN

Ada empat asas pokok yang mendasari perjanjian pengangkutan:

1. Asas konsensual
asas ini tidak mensyaratkan bentuk perjanjian angkutan secara tertulis, sudah cukup apabila ada persetujuan kehendak antara pihak-pihak. Dalam kenyataannya, hampir semua perjanjian pengangkutan darat, laut, dan udara dibuat secara tidak tertulis, tetapi selalu didukung dokumen pengangkutan.

Dokumen pengangkutan bukan perjanjian tertulis melainkan sebagai bukti bahwa persetujuan diantara pihak-pihak itu ada.

Alasan perjanjian pengangkutan tidak dibuat tertulis karena kewajiban dan hak pihak-pihak telah ditentukan dalam undang-undang. Mereka hanya menunjuk (hal 24) atau menerapkanketentuan undang-undang.

2.Asas koordinasi
asas ini mensyaratkan kedudukan yang sejajar antara pihak-pihak dalam perjanjian pengangkutan.

Walaupun perjanjian pengangkutan merupakan ”pelayanan jasa”, asas subordinasi antara buruh dan majikan pada perjanjian perburuan tidak berlaku pada perjanjian pengangkutan.

3.Asas campuran
perjanjian pengangkutan merupakan campuran dari tiga jenis perjanjian, yaitu pemberian kuasa dari pengirim kepada pengangkut, penyimpan barang dari pengirim kepada pengangkut, dan melakukan pekerjaan pengangkutan yang diberikan oleh pengirim kepada pengangkut.

Jika dalam perjanjian pengangkutan tidak diatur lain, maka diantara ketentuan ketiga jenis perjanjian itu dapat diberlakukan. Hal ini ada hubungannya dengan asas konsensual.

4.Asas tidak ada hak retensi
penggunaan hak retensi bertentangan dengan fungsi dan tujuan pengangkutan. Penggunaan hak retensi akan menyulitkan pengangkut sendiri, misalnya penyediaan tempat penyimpanan, biaya penyimpanan, penjagaan dan perawatan barang.

TUJUAN PERJANJIAN PENGANGKUTAN

Perjanjian pengangkutan mempunyai tujuan untuk melindungi hak dari penumpang yang kurang terpenuhi oleh ulah para pelaku usaha angkutan umum karena dengan adanya perjanjian pengangkutan maka memberikan jaminan kepastian hukum bagi pihak-pihak yang mengadakan perjanjian.

Kitab Undang Undang Hukum Perdata Pasal 1338 ayat (3) telah memberikan suatu asas keadilan yaitu asas pelaksanaan perjanjian secara itikad baik jaminan keadilan itu juga di pedomani pada Pasal 1337 Kitab Undang Undang Hukum Perdata bahwa suatu perjanjian akan dapat dibatal kan jika bertentangan dengan Undang Undang Kesusilaan yang baik dan atau ketertiban umum.

SYARAT SAHNYA PERJANJIAN

Syarat sah perjanjian ada 4 (empat) terdiri dari syarat subyektif dan syarat objektif, diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu Syarat Subyektif (menyangkut para pembuatnya). Tidak dipenuhinya syarat dibawah ini, mengakibatkan perjanjian dapat dibatalkan (voidable).

1. Sepakat (Pasal 1321 – 1328 KUHPerdata)

Supaya perjanjian menjadi sah maka para pihak harus sepakat terhadap segala hal yang terdapat di dalam perjanjian dan memberikan persetujuannya atau kesepakatannya jika ia memang menghendaki apa yang disepakati. Dalam preambule perjanjian (sebelum masuk ke pasal-pasal), biasa tuliskan sebagai berikut “Atas apa yang disebutkan diatas, Para Pihak setuju dan sepakat hal-hal sebagai berikut:”

Pencantuman kata-kata setuju dan sepakat sangat penting dalam suatu perjanjian. Tanpa ada kata-kata ini (atau kata-kata lain yang bermaksud memberikan ikatan atau setuju saja atau sepakat saja), maka perjanjian tidak memiliki ikatan bagi para pembuatanya. Setuju dan sepakat dilakukan dengan penuh kesadaran di antara para pembuatnya, yang bisa diberikan secara lisan dan tertulis.

Suatu perjanjian dianggap cacat atau dianggap tidak ada apabila:

mengandung paksaan (dwang), termasuk tindakan atau ancaman atau intimidasi mental.
mengandung penipuan (bedrog), adalah tindakan jahat yang dilakukan salah satu pihak, misal tidak menginformasikan adanya cacat tersembunyi.
mengandung kekhilafan/kesesatan/kekeliruan(dwaling), bahwa salah satu pihak memiliki persepsi yang salah terhadap subyek dan obyek perjanjian. Terhadap subyek disebut error in persona atau kekeliruan pada orang, misal melakukan perjanjian dengan seorang artis, tetapi ternyata perjanjian dibuat bukan dengan artis, tetapi hanya memiliki nama dengan artis. Terhadap obyek disebut error in substantia atau kekeliruan pada benda, misal membeli batu akik, ketika sudah dibeli, ternyata batu akik tersebut palsu.
2. Cakap (Pasal 1329 – 1331 KUHPerdata)

Pasal 1329 KUHPerdata menyatakan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat perjanjian, kecuali apabila menurut undang-undang dinyatakan tidak cakap. Kemudian Pasal 1330 menyatakan bahwa ada beberapa orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian, yakni

Orang yang belum dewasa (dibawah 21 tahun, kecuali yang ditentukan lain)
Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan (curatele or conservatorship); dan
Perempuan yang sudah menikah
Berdasarkan pasal 330 KUHPerdata, seseorang dianggap dewasa jika dia telah berusia 21 tahun atau kurang dari 21 tahun tetapi telah menikah. Kemudian berdasarkan pasal 47 dan Pasal 50 Undang-Undang No 1/1974 menyatakan bahwa kedewasaan seseorang ditentukan bahwa anak berada di bawah kekuasaan orang tua atau wali sampai dia berusia 18 tahun.[1]

Berkaitan dengan perempuan yang telah menikah, pasal 31 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 menentukan bahwa masing-masing pihak (suami atau isteri) berhak melakukan perbuatan hukum.[2]

Selain itu khusus suami istri, mohon diperhatikan juga apakah dalam perkawinan terdapat perjanjian pisah harta.

Sindikat Notes: Maka dari itu, di dalam suatu perjanjian, terhadap pribadi individu para pihak, dicantumkan Nomor KTP, yang membuktikan kecakapan pihak untuk membuat suatu perjanjian. Apabila pihak tersebut adalah badan hukum misal PT, maka Direktur PT sebagai orang yang mewakili PT dalam tindakannya melakukan kepengurusan.
Syarat Obyektif (menyangkut para pembuatnya). Tidak dipenuhinya syarat dibawah ini, mengakibatkan perjanjian batal demi hukum (null and void).

3. Hal tertentu (Pasal 1332 – 1334 KUHPerdata)

Pasal 1333 KUHPerdata menentukan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai pokok suatu benda (zaak)yang paling sedikit dapat ditentukan jenisnya. Suatu perjanjian harus memiliki objek tertentu dan suatu perjanjian haruslah mengenai suatu hal tertentu (certainty of terms), berarti bahwa apa yang diperjanjikan, yakni hak dan kewajiban kedua belah pihak. Barang yang dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit dapat ditentukan jenisnya (determinable).[3]

4. Sebab yang halal (Pasal 1335 – 1337 KUHPerdata)

Syarat sahnya perjanjian yang keempat adalah adanya kausa hukum yang halal. Jika objek dalam perjanjian itu illegal, atau bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban umum, maka perjanjian tersebut menjadi batal. Sebagai contohnya, perjanjian untuk membunuh seseorang mempunyai objek tujuan yang illegal, maka kontrak ini tidak sah.[4]

Menurut Pasal 1335 jo 1337 KUHPerdata menyatakan bahwa suatu kausa dinyatakan terlarang jika bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.[5]

Suatu kausa dinyatakan bertentangan dengan undang-undang, jika kausa di dalam perjanjian yang bersangkutan isinya bertentangan dengan undang-undang yang berlaku. Untuk menentukan apakah suatu kausa perjanjian bertentangan dengan kesusilaan (geode zeden) bukanlah hal yang mudah, karena istilah kesusilaan tersebut sangat abstrak, yang isinya bisa berbeda-beda antara daerah yang satu dan daerah yang lainnya atau antara kelompok masyarakat yang satu dan lainnya. Selain itu penilaian orang terhadap kesusilaan dapat pula berubah-ubah sesuai dengan perkembangan jaman.

sumber :

http://www.landasanteori.com/2015/09/perjanjian-pengangkutan-udara-hukum.html

http://folorensus.blogspot.co.id/2008/07/hukum-tentang-perjanjian-pengangkutan.html

http://soegeng-poernomo.blogspot.co.id/2015/05/perjanjian-pengangkutan.html

http://www.sindikat.co.id/blog/syarat-sahnya-perjanjian

 

MATA KULIAH : HUKUM TRANSPORTASI

DOSEN : SURAJIMAN, SH, MHum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS NASIONAL

KUHD PASAL 91 s/d PASAL 98

41281-kuhd_kitab_undang-un

Pasal 91

Para pengangkut dan juragan kapal harus bertanggung jawab atas semua kerusakan yang terjadi pada barang-barang dagangan atau barang-barang yang telah diterima untuk diangkut, kecuali hal itu disebabkan oleh cacat barang itu sendiri, atau oleh keadaan di luar kekuasaan mereka atau oleh kesalahan atau kelalaian pengirim atau ekspeditur sendiri. (KUHPerd. 1139-71, 1147, 1246, 1367, 1617; KUHD 87 dst., 93, 95, 98, 342 dst., 533, 693.)

Pasal 92

Pengangkut atau juragan kapal tidak bertanggung jawab atas kelambatan pengangkutan, bila hal itu disebabkan oleh keadaan yang memaksa. (KUHPerd.1245; KUHD 87.)

Pasal 93

Setelah pembayaran upah pengangkutan barang-barang dagangan dan barang-barang yang telah diangkut atas dasar pesanan diterima, maka gugurlah segala hak untuk menuntut kerugian kepada pengangkut atau juragan kapal dalam hal kerusakan atau kekurangan, bila cacatnya waktu itu dapat dilihat dari luar. Jika kerusakan atau kekurangannya tidak dapat dilihat dari luar, dapat dilakukan pemeriksaan oleh pengadilan setelah barang-barang itu diterima, tanpa membedakan sudah atau belum dibayar upah pengangkutan, asalkan pemeriksaan itu diminta dalam waktu dua kali dua puluh empat jam setelah penerimaan, dan ternyata barang-barang itu masih dalam wujud yang semula. (KUHD 485 dst., 746,753.)

Pasal 94

(s.d.u. dg. S. 1925-497.) Bila terjadi penolakan penerimaan barang-barang dagangan atau barang-barang lainnya, atau timbul perselisihan tentang hal itu, ketua Raad van Justitie, atau bila tidak ada, hakim karesidenan atau jika Ia tidak ada, terhalang atau tidak di tempat, maka kepala pemerintahan setempat memerintahkan, atas surat pemohonan sederhana untuk diambil tindakan-tindakan seperlunya guna pemeriksaan barang-barang itu oleh ahli-ahli, setelah pihak lainnya, bila Ia berada di tempat itu juga, didengar, dan dengan demikian pula dapat memerintahkan juga untuk menyimpannya secara memuaskan, agar dari itu dapat dibayarkan upah pengangkutan dan biaya-biaya lainnya kepada pengangkut dan juragan kapal. Raad van justitie atau Hakim Karesidenan atau Kepala Daerah setempat berwenang dengan cara seperti ditentukan di atas untuk memberi kuasa menual di depan umum barang-barang yang mudah rusak atau sebagian dari barang-barang itu untuk memenuhi pembayaran upah pengangkutan dan biaya lain. (KUHD 81, 493 dst.)

Pasal 95

Semua hak-menuntut terhadap ekspeditur, pengangkut atau juragan kapal berdasarkan kehilangan barang-barang seluruhnya, kelambatan penyerahan, dan kerusakan pada barangbarang dagangan atau barang-barang, kedaluwarsanya pengiriman yang dilakukan dalam wilayah Indonesia, selama satu tahun dan selama dua tahun dalam hal pengiriman dari Indonesia ke tempat-tempat lain, bila dalam hal hilangnya barang-barang, terhitung dari hari waktu seharusnya pengangkutan barang-barang dagangan dan barang-barangnya selesai, dan dalam hal kerusakan dan kelambatan penyampaian, terhitung dari hari waktu barang-barang itu seharusnya akan sampai di tempat tujuan. Kedaluwarsa ini tidak berlaku dalam hal adanya penipuan atau ketidakjujuran. (KUHPerd. 1967; KUHD 86 dst., 91, 93.)

Pasal 96

Dengan tidak mengurangi hal-hal yang mungkin diatur dalam peraturan khusus, maka ketentuan-ketentuan bagian ini berlaku pula terhadap para pengusaha kendaraan umum di darat dan di air. Mereka berkewajiban menyelenggarakan registrasi untuk barang-barang yang diterimanya. Bila barang-barang itu terdiri dari uang, emas, perak, permata, mutiara, batu-batu mulia, efek-efek, kupon-kupon atau surat-surat berharga lain yang semacam itu, maka pengirim berkewajiban untuk memberitahukan nilai barang-barang itu, dan Ia dapat menuntut pencatatan hal itu dalam register tersebut. Bila pemberitahuan itu tidak terjadi, maka dalam hal terjadinya kehilangan atau kerusakan, pembuktian tentang nilainya hanya diperbolehkan menurut ujud lahirnya saja. Bila pemberitahuan nilai itu ada, maka hal itu dapat dibuktikan dengan segala alat bukti menurut hukum, dan malahan hakim berwenang untuk mempercayai sepenuhnya pemberitahuan pengirim setelah diperkuat dengan sumpah, dan menaksir serta menetapkan ganti rugi berdasarkan pemberitahuan itu. (KUHD 86, 91 dst., S. 1823-3.)

Pasal 97

Pelayaran-bergilir dan semua perusahaan pengangkutan lainnya tetap tunduk kepada peraturan-peraturan dan perundang-undangan yang ada dalam bidang ini, selama hal itu tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam bab ini.

Pasal 98

Ketentuan-ketentuan bab ini tidak berlaku terhadap hak-hak dan kewajiban-kewajiban antara pembeli dan penjual. (KUHPerd. 1457 dst., 1473 dst., 1513.) 99. Dihapus dg. S. 1938-276,

sumber : http://perusahaan.web.id/wp-content/uploads/2012/04/KUHD_new_version.pdf

 

MATA KULIAH : HUKUM TRANSPORTASI

DOSEN : SURAJIMAN, SH, Mhum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS NASIONAL

 

DEFINISI TRANSPORTASI

Transportasi adalah perpindahan manusia atau barang dari satu tempat ke tempat lainnya dengan menggunakan sebuah kendaraan yang digerakkan oleh manusia atau mesin. Transportasi digunakan untuk memudahkan manusia dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Di negara maju, mereka biasanya menggunakan kereta bawah tanah (subway) dan taksi. Penduduk di sana jarang yang mempunyai kendaraan pribadi karena mereka sebagian besar menggunakan angkutan umum sebagai transportasi mereka. Transportasi sendiri dibagi 3 yaitu, transportasi darat, laut, dan udara. Transportasi udara merupakan transportasi yang membutuhkan banyak uang untuk memakainya. Selain karena memiliki teknologi yang lebih canggih, transportasi udara merupakan alat transportasi tercepat dibandingkan dengan alat transportasi lainnya.

sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Transportasi

TRANSPORTASI DI INDONESIA

Mode transportasi paling umum di Indonesia termasuk feri dan kapal lainnya, dan juga berbagai macam kendaraan jalan, dengan pelayanan jalur kereta api yang terbatas, dan pelayanan penerbangan komersial yang luas.

Transportasi air

antarafoto-Transportasi020510

Karena Indonesia merupakan negara kepulauan, transportasi air merupakan sarana penting yang menghubungkan banyak tempat di negara ini. Kapal yang banyak digunakan termasuk kapal kontainer besar, berbagai jenis feri, kapal penumpang, kapal layar, dan kapal bermotor kecil.

Banyak ferry melayani selat-selat antara pulau yang berdekatan, terutama antara pulau Sumatera dan Jawa, dan juga antara pulau Jawa dan pulau-pulau di Kepulauan Sunda Kecil. Di penyeberangan sibuk antara SumatEra, Jawa, dan Bali, feri yang mengangkut kapal dioperasikan 24 jam per hari. Ada juba beberapa feri internasional yang melayaniSelat Malaka antara Sumatera dan Malaysia, dan juga Singapura, dan pulau-pulau kecil Indonesia seperti Batam.

Beberapa jaringan juga melayani hubungan laut yang lebih panjang ke daerah pulau-pulau terpencil, terutama yang terletak di timur Indonesia. Pelni melayani jalur tersebut dengan jadwal antara dua sampai empat minggu. Kapal-kapal ini merupakan sarana yang terhitung murah untuk hubungan jarak jauh antar pulau. Dan ada juga kapal-kapal swasta lain yang melayani di berbagai jalur lainnya.

Di beberapa pulau, sungai utama merupakan kunci transportasi karena ketiadaan jalan yang layak. Di Kalimantan, kapal panjang menjalani sungai-sungai dan merupakan satu-satunya cara untuk mencapai banyak tempat di dalam pulau. Indonesia memiliki jalur air yang dapat dijalani sepanjang 21.579 km (pada 2004), sekitar setengahnya di Kalimantan, dan masing-masing seperempat di Sumatera dan Papua.

Pelabuhan utama terdapat di Cilacap, Cirebon, Jakarta, Kupang, Palembang, Semarang, Surabaya, dan Makassar.

Transportasi darat

Sarana dan Prasarana Transportasi Darat Masa Lalu dan Masa Kini

Jalan dan jalan tol

Mobil “Angkutan Pedesaan” diPadangbai, Bali berupa minibus.

Pelayanan bus terdapat di banyak wilayah yang dihubungi oleh jalan, terutama di Sumatera, Jawa, dan Bali. Di daerah yang lebih kecil transportasi jalan banyak dilayani oleh minibus atau van kecil. Bis dan van juga transportasi umum di dalam kota.

Banyak kota memilik sarana tranportasi sendiri yang dapat disewa, seperti taksi, bajaj, becak, ojek motor, delman, dll.

Mobil pribadi terhitung sangat mahal bagi mayoritas penduduk Indonesia, dan hanya umum di kota-kota besar saja, seperti Jakarta,Bandung, Surabaya, dll.

Indonesia memiliki sekitar 158.670 km jalan beraspal, dan sekitar 184.000 km jalan biasa. (perkiraan pada 1999).

Kereta api

KA Argo Bromo Anggrek, Jakarta – Surabaya
800px-Argo_Bromo_Anggrek_passenger_coach.JPG

 

Stasiun Kereta Api Bogor, terlihat ada beberapa rangkaian KRL Commuter Line.

total: 6.458 km
narrow gauge: 5.961 km 1.067-m gauge (101 km listrik; 101 km rel ganda); 497 km 0.750-m gauge (1995)

Transportasi udara

ppt-uts-media-interaktif-transportasi-11-638.jpg

Bandara: 446 (perkiraan 1999)

Bandara – dengan landas pacu beraspal: total: 127
lebih 3.047 m: 4
2.438 sampai 3.047 m: 12
1.524 sampai 2.437 m: 39
914 sampai 1.523 m: 41
di bawah 914 m:

31 (perkiraan 1999)

Bandara – tanpa landas pacu beraspal: total: 319
1.524 sampai 2.437 m: 5
914 sampai 1.523 m: 33
di bawah 914 m: 281 (perkiraan 1999)

sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Transportasi_di_Indonesia

PENGERTIAN TRANSPORTASI MENURUT PARA AHLI

Definisi transportasi menurut beberapa ahli adalah sebagai berikut:

1. Menurut Morlok (1978), transportasi didefinisikan sebagai kegiatan memindahkan atau mengangkut sesuatu dari suatu tempat ketempat lain.

2. Menurut Bowersox (1981), transportasi adalah perpindahan barang atau penumpang dari suatu tempat ketempat lain, dimana produk dipindahkan ke tempat tujuan dibutuhkan. Dan secara umum transportasi adalah suatu kegiatan memindahkan sesuatu (barang dan/atau barang) dari suatu tempat ke tempat lain, baik dengan atau tanpa sarana.

3. Menurut Steenbrink (1974), transportasi adalah perpindahan orang atau barang dengan menggunakan alat atau kendaraan dari dan ke tempat-tempat yang terpisah secara geografis.

4. Menurut Papacostas (1987), transportasi didefinisikan sebagai suatu sistem yang terdiri dari fasilitas tertentu beserta arus dan sistem control yang memungkinkan orang atau barang dapat berpindah dari suatu temapat ke tempat lain secara efisien dalam setiap waktu untuk mendukung aktivitas manusia.

sumber : http://e-journal.uajy.ac.id/7732/3/TA213706.pdf

PENGERTIAN TRANSPORTASI MENURUT SAYA SENDIRI

Transportasi adalah perpindahan suatu orang atau barang dari suatu tempat ke tempat lain yang diinginkannya dengan menggunakan fasilitas kendaraan transportasi darat, laut, maupun udara dan membayar upah jasa kepada pemilik kendaraan transportasi atas pelayanan yang diberikan selama menggunakan kendaraan transportasi tersebut.

 

MATA KULIAH : HUKUM TRANSPORTASI

DOSEN : SURAJIMAN, SH, Hum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS NASIONAL