MASYARAKAT YANG MEMILIKI HUKUM DAN KARAKTERISTIK HUKUM YANG UNIVERSAL

b-thumb-law.png

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Manusia mulai diatur oleh hukum sejak dalam masa kandungan bahkan seseorang yang telah meninggal dunia tetap masih diatur oleh hukum. Maka dari itu setiap manusia memunyai hak dan kewajiban di tambah lagi di dalam hidup bermasyarakat setiap manusia tidak akan terlepas dari hukum karna hukum yang mengatur pergaulan dalam bermasyarakat yang bertujuan menciptakan suasana yang kondisif serta keteraturan sosial.

Salah satu kebiasaan atau budaya manusia yaitu hidup secara berkelompok dan membuat serta menerapkan hukum dalam kelmpok masyarakat. Dan hukum yang diterapkan dalam masyarakat mengatur seluruh aspek ekonomi, politik, sosial dan budaya maka dari itu hukum dapat dikatakan bersifat universal.

Sementara itu hukum dengan aspek kebudayaan dan organisasi sosial yaitu unsur terpenting dalam membentuk hukum, karna keberadaan organisasi sosial tidak lepas dari adanya nilai norma dalam masyarakat.

1.2. Rumusan Masalah

  1. Apakah dalam setiap masyarakat terdapat hukum dan bagaimana karakteristik hukum yang universal?
  2. Bagaimana hubungan antara hukum dengan aspek kebudayaan dan organisasi sosial?

 

1.3. Tujuan Makalah

  1. Untuk mengetahui apakah dalam setiap masyarakat terdapat hukum dan bagaimana karakteristik hukum yang universal.
  2. Untuk mengetahui bagaimana hubungan antara hukum dengan aspek kebudayaan dan organisasi sosial.

 

1.4. Manfaat Makalah

  1. Sebagai bahan literatur dalam mempelajari ilmu hukum bagi mahasiswa.
  2. Sebagai bahan perbandingan karasteristik hukum yang universal dan yang tidak bersifat universal.
  3. Sebagai bahan informasi hubungan antara hukum dengan aspek kebudayaan dan organisasi.

 

BAB II

PEMBAHASAN

MASYARAKAT  YANG MEMILIKI HUKUM DAN KARAKTERISTIK HUKUM YANG UNIVERSAL

2.1. Masyarakat Dengan Hukum

Setiap manusia mempunyai sifat, watak, dan kehendak yang berbeda-beda dan dalam hubungan dengan sesama manusia dibutuhkan adanya kerjasama, tolong menolong dan saling membantu untuk memperoleh keperluan hidupnya. Kalau kepentingan itu selaras maka keperluan masing-masing akan mudah tercapai. Tetapi kalau tidak akan menimbulkan masalah yang mengganggu keseharian dan bila kepentingan tersebut yang kuatlah akan berkuasa dan menekan golongan yang lemah untuk memenuhi kehendaknya.

Karena itu di perlukan satu aturan yang mengatur setiap anggota dalam masyarakat. Maka dibuatlah aturan yang disebut norma, dengan norma tersebut setiap anggota masyarakat dengan sadar atau tidak sadar akan terpengaruh dan menekan kehendak pribadinya. Adanya aturan tersebut berguna agar tercapainya dalam tujuan masyarakat, memberi petunjuk mana yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan memberi petunjuk bagaimana cara berperilaku dalam masyarakat. Itulah dasar pembentukan hukum dari kebutuhan masyarakat akan adanya aturan yang mengatur tata cara kehidupan agar setiap kehidupan masyarakat dapat hidup selaras.

Sementara itu hubungannya antara hukum dan aspek kebudayaan dan organisasi sosial sangatlah erat kaitannya karena ini semua merupakan satu aspek penting dari unsur pembentukan unsur hukum itu sendiri sehingga bisa dikatakan sebagai salah satu nyawa hukum itu sendiri.

2.2. Karakteristik Hukum Yang Universal

Hukum yang universal adalah hukum yang luas yang dapat menjaga keseluruhan dan karakteristiknya adalah selalu dapat dipakai di mana saja. Masyarakat yang dapat menerima hukum dan menerapkan di masyarakat yang dapat dikatakan masyarakat modern namun masyarakat yang memberikan hukum itu termasuk dengan sendirinya merupakan masyarakat tradisional, contohnya seperti masyarakat pedalaman dayak yang melarang penduduknya merusak alam untuk menjaga keseimbangan alam sehingga bisa dipastikan bahwa hukum dapat masuk dengan sendirinya kedalam suatu kelompok masyarakat jadi bisa juga disimpulkan bahwa hukum adat dalam setiap masyarakat.

HUBUNGAN ANTARA HUKUM DENGAN ASPEK KEBUDAYAAN DAN ORGANISASI SOSIAL

2.3. Aspek, Kebudayaan, Dan Organisasi Sosial

Antara hukum, aspek kebudayaan, serta organisasi sosial merupakan faktor-faktor yang paling penting dalam penyelenggaraan dan penegakan hukum yang berlaku apabila salah satu dari tiga diatas tidak akan sulit terciptanya keteraturan sosial hukum dan lain-lain.

Lalu apa hubungan dari ketiga hubungan analisisnya merupakan bagian dari kebudayaan serta organisasi sosial merupakan faktor dari penegakan hukum tanpa ada budaya. Menghukum akan sulit untuk menegakan hukum tersebut, lalu organisasi merupakan pengawas hukum yang berlaku sehingga dapat dikatakan bahwa ketiganya merupakan peranan yang penting dalam penegakan hukum itu sendiri dan ketiganya saling berhubungan dari segi tugas masing-masing.

Tanpa ada salah satunya akan sulit tercipta keadilan hukum apabila diera sekarang ini banyak sekali organisasi yang bergerak di bidang hukum yang merupakan organisasi sosial dan bukan hanya bertugas sebagai pengawas tetapi juga penyambung aspirasi rakyat kepada pemerintah tentang keadilan ATS atau kasus. Jadi tidak mengherankan kalau ketiganya saling berhubungan dan saling melengkapi satu sama lain dalam menegakan hukum.

2.4. Hakekat Lembaga Sosial

Keberadaan lembaga sosial tidak lepas dari adanya nilai dan norma dalam masyarakat, dimana nilai merupakan sesuatu yang baik, di cita-citakan, dan dianggap penting oleh masyarakat. Oleh karenanya untuk mewujudkan nilai sosial masyarakat menciptakan aturan-aturan yang tegas yang disebut norma sosial.

Nilai dan norma inilah yang membatasi setiap perilaku manusia dalam kehidupan bersama. Sekalipun norma yang akan membentuk sekumpulan nilai norma yang telah mengalami proses instirutionalization menghasilkan lembaga sosial. Dan adapula sebuah organisasi memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

  • Formalis, merupakan ciri organisasi sosial yang menunjuk kepada adanya perumusan tertulis dari pada peraturan-peraturan, ketetapan-ketetapan, prosedur, kebijaksanaan, tujuan, strategi, dan seterusnya.
  • Hierarkhi, merupakan ciri organisasi yang menunjuk pada adanya suatu pola kekuasaan yang berwenang yang membentuk piramida, yang artinya ada orang-orang tertentu yang memiliki kedudukan dan kekuasaan sewenang-wenang yang lebih tinggi dari pada angggota biasa pada organisasi tersebut.
  • Sebenarnya dalam kompleksnya, dalam hal ini pada umumnya organisasi sosial memiliki banyak anggota adalah tidak langsung ( impersonal ), gejala ini bisa dikenal dengan gejala “birokrasi”.
  • Lamanya, ( duraton ) menunjuk pada dari bawah eksistensi suatu organisasi lebih lama dari pada keanggotaan orang-orang dalam organisasi itu.

 

BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Masyarakat adalah makhluk sosial yang mempunyai saling ketergantungan antara yang satu dengan lainnya baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam berkomunikasi yang baik, hidup secara bersama dan tidak ada manusia yang dapat hidup sendiri. Dan setiap manusia mempunyai sifat, watak, karateristik dan kehendak yang berbeda-beda, dalam hubungan manusia yang satu dengan lainnya dan dibutuhkan kerjasama dalam bidang ilmu yang dibutukannya dan saling membantu untuk keperluan hidupnya. Sehingga dapat terciptanya  masyarakat yang lebih baik dan dapat mengetahui hukum yang berlaku dalam daerah atau wilayah tertentu.

3.2. Saran

Sebagai bahan pertimbangan dari pada Makalah Antropologi hukum ini bahwa masyarakat harus banyak mempelajari tentang manfaat hukum terhadap kehidupan manusia secara meluas atau lebih banyak dan kebudayaan dalam bentuk perilaku masyarakat atau manusia sehingga dapat terlaksana hukum yang nyata dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku.

DAFTAR PUSTAKA

  1. Ramly Hutabarat, Kedudukan Antropologi Hukum dalam Konstitusi-Konstitusi Indonesia dan Peranannya dalam Pembinaan Hukum Nasional, Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Jakarta, Mei 2005.
  2. Bahtiar Effendy, Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik  Hukum di Indonesia, Paramadina, Jakarta, Oktober 1998.
  3. Jimly Ashshiddiqie, Reformasi Hukum Nasional, Seminar Penelitian Hukum tentang Eksistensi Hukum dalam Reformasi Sistem Nasional, Jakarta,  27 September 2000.
  4. Chamzawi, Memperjuangkan Berlakunya Hukum di Indonesia (Masih Perlukah?), Majalah Amanah, no.56, tahun XVIII, Nopember 2004/Ramadhan-Syawal 1425 H.

 

 

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG SERING DIUJI DAN DIBATALKAN OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI RI

mahkamah-konstitusi

BEBERAPA UNDANG-UNDANG YANG SERING DIUJI DI MK

Sejak Mahkamah Konstitusi (MK) didirikan di Indonesia pada tahun 2003, undang-undang atau pasal tertentu dari undang-undang yang dianggap merugikan hak konstitutional masyarakat dapat dibatalkan oleh MK melalui judicial review yang diajukan oleh warga negara.

Hal ini tentu saja merupakan pembaruan penting dalam dunia hukum di Indonesia, mengingat sebelum adanya MK, undang-undang yang merugikan masyarakat hampir tidak mungkin untuk diuji dan dibatalkan.

Lalu, undang-undang apa saja yang paling sering diuji di MK mulai dari berdirinya MK hingga saat ini? Berikut ulasannya:

1.UU Pemberantasan Korupsi

UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001. Undang-undang ini pertama kali diuji oleh Dawud Djatmiko, seorang yang terlilit kasus korupsi pengadaan lahan untuk proyek Jakarta Outer Ring Road, pada tanggal 15 Juli 2006 silam.

Dalam putusannya, MK mengabulkan sebagian permohonan Dawud dengan membatalkan ketentuan penjelasan Pasal 2 ayat (1). Dengan demikian setelah putusan MK tersebut, suatu perbuatan korupsi haruslah perbuatan yang melanggar suatu peraturan perundang-undangan. Tidak cukup hanya dengan menyatakan telah melanggar rasa keadilan dan norma yang hidup di masyarakat.

Setelah permohonan Dawud tersebut, tercatat ada tujuh permohonan lagi terhadap UU ini, namun ditolak oleh MK.

2.UU Ketenagakerjaan

UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ini cukup unik. Kalangan pengusaha maupun pekerja sama-sama mengkritik keberadaan undang-undang ini. Kalangan pengusaha misalnya yang menyatakan bahwa UU ini mengatur kompensasi pesangon yang cukup besar sehingga membebani pengusaha.

Sementara para pekerja salah satunya mengkritik UU ini karena dianggap melegalkan sistem outsourcing yang pada praktiknya tidak memberikan jaminan perlindungan pekerjaan bagi para buruh.

Lebih uniknya lagi, walaupun sama-sama keberatan dengan substansi UU ini, justru hanya kalangan buruh yang selalu mempersoalkan UU ini ke MK. Baik secara individu maupun melalui serikat pekerja. Sedangkan organisasi pengusaha (Apindo misalnya) tak pernah menggugat UU ini ke MK.

Tercatat ada sembilan kali UU ini diuji ke MK. Hanya ada satu permohonan yang ditolak, dan satu permohonan lagi yang belakangan dicabut oleh sang pemohonnya. Sisanya dikabulkan oleh MK yang berdampak pada dibatalkannya beberapa pasal dalam UU ini.

3.UU Advokat

Hingga saat ini, pengujian UU Advokat terhadap UUD 1945 di MK telah dilakukan sebanyak 9 (sembilan) kali, tapi hanya 1 permohonan yang dikabulkan oleh MK, yaitu: Perkara No. 006/PUU-II/2004.

Pada 10 Maret 2004, Mahkamah Konstitusi menerima permohonan pengujian Pasal 31 UU Advokat terhadap UUD 1945 yang diajukan oleh Tongat, Sumali, dan A. Fuad, masing-masing adalah Kepala, Sekretaris, dan staf pada Laboratorium Konsultasi dan Pelayanan Hukum (LKPH) Universitas Muhammadiyah Malang. Pasal tersebut dinilai sangat diskriminatif dan tidak adil bagi pihak LKPH dalam memberikan bantuan hukum kepada masyarakat.

Kemudian 13 Desember 2004, dengan suara 6:3 Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Pasal 31 UU Advokat dinyatakan tidak berlaku. Putusan ini lantas disambut gembira tak hanya oleh pihak LKPH Muhammadiyah Malang, namun juga oleh lembaga-lembaga serupa pada fakultas hukum perguruan tinggi negeri. Sebaliknya, putusan itu mendapat reaksi keras dari kalangan advokat. Mereka menilai putusan itu membuat masyarakat tak lagi terlindungi dari advokat liar.

4.Kitab Undang-undang Hukum Pidana

Sejak MK dibentuk hingga saat ini, KUHP telah diuji sebanyak 10 kali. Pengujian pertama terhadap KUHP diajukan tahun 2006 oleh Eggi Sudjana dan Pandapotan Lubis, dan yang terakhir kali diajukan September 2013.

Dari 10 pengujian yang diajukan, hanya dua permohonan yang dikabulkan oleh MK, yaitu:
a. Pengujian terhadap Pasal 134, 136bis, dan 137 (Putusan No. 013-022/PUU-IV/2006); dan
b. Pengujian terhadap Pasal 107, Pasal 154, Pasal 155, Pasal 160, Pasal 161, Pasal 207 dan Pasal 208 (Putusan No. 6/PUU-V/2007. MK hanya mengabulkan sebagian, yaitu membatalkan Pasal 154 dan 155)

Putusan No. 013-022/PUU-IV/2006

Dalam putusannya, MK merujuk praktik di Jepang, dimana tuduhan penghinaan terhadap kaisar dan keluarganya harus didahului adanya pengaduan, misalnya oleh perdana menteri. MK juga berpendapat, Pasal 134, 136 bis dan 137 KUHP bisa menghambat atau menjadi ganjalan dalam proses ketatanegaraan. Misalnya ketika muncul dugaan pelanggaran yang dilakukan Presiden, karena upaya-upaya klarifikasi tuduhan pelanggaran bisa dipandang sebagai penghinaan kepada Presiden/Wakil Presiden. MK menyatakan pasal 134, 136 bisa dan 137 KUHP bertentangan dengan UUD 1945.

Putusan No. 6/PUU-V/2007

Dalam putusan ini, MK menyatakan Pasal 154 dan 155 KUHP, yang juga dikenal dengan haatzai artikelen, bertentangan dengan UUD 1945. MK menemukan bahwa kedua pasal itu diadopsi oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda dari pasal 124a British India Penal Code Tahun 1915. Di India sendiri pasal itu sudah dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Indian Supreme Court dan East Punjab High Court karena bertentangan dengan konstitusi India.

MK lalu mengidentifikasi bahwa Pasal 154 dan Pasal 155 itu memang tidak rasional. Sebab seorang warganegara dari negara yang merdeka dan berdaulat tidak mungkin memusuhi negara atau pemerintahannya sendiri kecuali dalam hal makar. Dan soal makar, sudah diatur tersendiri dalam pasal lain di KUHP.

5.UU Kesehatan

Serupa dengan KUHP, Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (“UU Kesehatan”) telah diuji sebanyak 10 kali sejak MK didirikan. Dari 10 permohonan pengujian yang diajukan ke MK, hanya tiga yang dikabulkan yaitu:

  1. Pengujian terhadap Pasal 108 ayat (1) dan Penjelasan, serta Pasal 190 ayat (1) (Putusan No. 12/PUU-VIII/2010, dikabulkan sebagian)
  2. Pengujian terhadap Pasal 113 ayat (2), Pasal 114 beserta penjelasannya, dan Pasal 199 ayat (1) (Putusan No. 34/PUU-VIII/2010, dikabulkan sebagian)
  3. Pengujian terhadap Pasal 115 ayat (1) (Putusan no. 57/PUU-IX/2011, dikabulkan seluruhnya)

Putusan No. 12/PUU-VIII/2010

Dalam Putusan ini, MK menyatakan Pasal 108 ayat (1) UU Kesehatan sepanjang kalimat, ‘…harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai peraturan perundang-undangan’ bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mengikat, sepanjang tidak dimaknai bahwa “tenaga kesehatan” adalah tenaga kefarmasian.

Jika tidak ada tenaga kefarmasian, MK menegaskan, tenaga kesehatan tertentu dapat melakukan praktik kefarmasian secara terbatas. Seperti dokter, dokter gigi, bidan, dan perawat yang melakukan tugasnya dalam keadaan darurat yang mengancam keselamatan jiwa dan diperlukan tindakan medis segera untuk menyelamatkan pasien.

Putusan No. 34/PUU-VIII/2010

MK mewajibkan produsen dan importir rokok di Indonesia mencantumkan peringatan kesehatan dalam bentuk gambar, selain bentuk tulisan yang berlaku selama ini. Sebab, MK menghilangkan kata “dapat” dalam Penjelasan Pasal 114 UU Kesehatan yang selama ini ditafsirkan peringatan kesehatan dalam produk rokok bisa diberikan dalam bentuk tulisan atau gambar.

MK menegaskan, kata ‘dapat’ dalam Penjelasan Pasal 114 UU Kesehatan bertentangan dengan UUD 1945, sehingga peringatan kesehatan harus dimaknai dengan tulisan yang jelas, mudah terbaca, dan disertai gambar atau bentuk lainnya.

Selain itu, MK juga menyatakan frasa “berbentuk gambar” dalam Pasal 199 ayat (1) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Karena itu, setelah putusan ini, Pasal 199 ayat (1) berbunyi, “Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau memasukkan rokok ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan tidak mencantumkan peringatan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).”

Putusan No. 57/PUU-IX/2011

Dalam putusan ini, MK menghapus kata “dapat” yang tercantum dalam Penjelasan Pasal 115 ayat (1) UU Kesehatan bertentangan dengan UUD 1945. MK berpendapat, bahwa kata “dapat” berimplikasi pada ketiadaan proporsionalitas dalam pengaturan tentang “tempat khusus merokok” yang mengakomodasi antara kepentingan perokok untuk merokok dan kepentingan publik agar terhindar dari ancaman bahaya rokok bagi kesehatan sekaligus meningkatnya derajat kesehatan.

MK menegaskan, merokok adalah perbuatan yang secara hukum legal atau diizinkan, sehingga dengan kata “dapat” tersebut berarti pemerintah boleh menyediakan atau tidak menyediakan “tempat khusus untuk merokok.” Hal itu akan menghilangkan kesempatan bagi para perokok untuk merokok manakala pemerintah dalam implementasinya benar-benar tidak menyediakan “tempat khusus untuk merokok” di tempat kerja, di tempat umum, dan di tempat lainnya.

6.UU Kejaksaan

Hingga hari ini, UU Kejaksaan tercatat telah diuji terhadap UUD 1945 ke Mahkamah Konstitusi (MK) sebanyak 10 kali. Meski demikian, hanya 1 permohonan pengujian UU Kejaksaan yang dikabulkan (sebagian) oleh MK yaitu perkara No. 49/PUU-VIII/2010. Pemohonnya yaitu Yusril Ihza Mahendra.

Sebagaimana ditulis hukumonline, Yusril –sejak ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi Sisminbakum- mempersoalkan legalitas jabatan Jaksa Agung Hendarman Supandji. Yusril menuding Hendarman bukan Jaksa Agung yang sah. Sebab, dengan berakhirnya Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) I, 20 Oktober 2009 lalu, Hendarman belum diberhentikan hingga terbentuknya KIB II. Karenanya, Yusril menilai segala tindakannya, terutama terhadap kasus yang membelitnya, dianggap ilegal.

Yusril kemudian meminta MK menguji Pasal 19 (2) jo Pasal 22 ayat (1) UU Kejaksaan. Menurut Yusril, kedua pasal itu tak membatasi masa jabatan seorang Jaksa Agung. Mantan Menteri Hukum dan HAM itu berniat menguji konstitusionalitas penafsiran pasal tersebut dihubungkan dengan prinsip negara hukum sesuai Pasal 1 dan 28 D ayat (1) UUD 1945.

MK dalam putusannya pada 22 September 2010 memutuskan Pasal 22 ayat (1) huruf d UU No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan yang mengatur masa jabatan Jaksa Agung dinyatakan konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) sebelum dilakukannya legislative review yang berlaku prospektif ke depan. Artinya, masa jabatan Jaksa Agung dinyatakan konstitusional dengan tafsir berakhirnya masa jabatan Jaksa Agung berakhir bersamaan dengan masa jabatan Presiden yang mengangkatnya sesuai praktek ketatanegaraan di Indonesia.

 

BEBERAPA UNDANG-UNDANG YANG DITOLAK OLEH MK

1.UU Sumber Daya Air

Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan keberlakuan secara keseluruhan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA) karena tidak memenuhi enam prinsip dasar pembatasan pengelolaan sumber daya air. Demikian putusan dengan Nomor 85/PUU-XII/2013 dibacakan oleh Ketua MK Arief Hidayat pada Rabu (18/2) di Ruang Sidang Pleno MK.

“Mengabulkan permohonan Pemohon I, Pemohon II, Pemohon IV, Pemohon V, Pemohon VI, Pemohon VII, Pemohon VIII, Pemohon IX, Pemohon X, dan Pemohon XI untuk seluruhnya. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air bertentangan dengan UUD 1945,” urai Arief membacakan putusan yang diajukan oleh PP Muhammadiyah, Perkumpulan Vanaprastha dan beberapa pemohon perseorangan tersebut.

Dalam pendapat Mahkamah yang dibacakan oleh Wakil Ketua MK Anwar Usman, putusan terkait UU SDA juga telah dipertimbangkan dalam putusan Putusan Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan Nomor 008/PUU-III/2005. Dalam pertimbangannya, MK menyatakan bahwa sumber daya air sebagai bagian dari hak asasi, sumber daya yang terdapat pada air juga diperlukan manusia untuk memenuhi kebutuhan lainnya, seperti untuk pengairan pertanian, pembangkit tenaga listrik, dan untuk keperluan industri, yang mempunyai andil penting bagi kemajuan kehidupan manusia dan menjadi faktor penting pula bagi manusia untuk dapat hidup layak.

“Persyaratan konstitusionalitas UU SDA tersebut adalah bahwa UU SDA dalam pelaksanaannya harus menjamin terwujudnya amanat konstitusi tentang hak penguasaan negara atas air. Hak penguasaan negara atas air itu dapat dikatakan ada bilamana negara, yang oleh UUD 1945 diberi mandat untuk membuat kebijakan (beleid), masih memegang kendali dalam melaksanakan tindakan pengurusan (bestuursdaad), tindakan pengaturan (regelendaad), tindakan pengelolaan (beheersdaad), dan tindakan pengawasan (toezichthoudensdaad),” jelas Anwar.

Selain dua aspek tersebut, jaminan bahwa negara masih tetap memegang hak penguasaannya atas air itu menjadi syarat yang tak dapat ditiadakan dalam menilai konstitusionalitas UU SDA. Jaminan ini terlihat dalam enam prinsip dasar pembatasan pengelolaan sumber daya air. Keenam prinsip dasar tersebut, yakni pengguna sumber daya air untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari dan untuk pertanian rakyat tidak dibebani biaya jasa pengelolaan sumber daya air, sepanjang pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari dan untuk pertanian rakyat di atas diperoleh langsung dari sumber air.

Swasta Tidak Boleh Kuasai Pengelolaan Air

Kemudian, konsep hak dalam Hak Guna Air harus dibedakan dengan konsep hak dalam pengertian umum dan haruslah sejalan dengan konsep res commune yang tidak boleh menjadi objek harga secara ekonomi. Selain itu,Konsep Hak Guna Pakai Air dalam UU SDA harus ditafsirkan sebagai turunan (derivative) dari hak hidup yang dijamin oleh UUD 1945. Oleh karenanya, pemanfaatan air di luar Hak Guna Pakai Air, dalam hal ini Hak Guna Usaha Air, haruslah melalui permohonan izin kepada Pemerintah yang penerbitannya harus berdasarkan pada pola yang disusun dengan melibatkan peran serta masyarakat yang seluas-luasnya. Oleh karena itu, Hak Guna Usaha Air tidak boleh dimaksudkan sebagai pemberian hak penguasaan atas sumber air, sungai, danau, atau rawa.

Hak Guna Usaha Air merupakan instrumen dalam sistem perizinan yang digunakan Pemerintah untuk membatasi jumlah atau volume air yang dapat diperoleh atau diusahakan oleh yang berhak sehingga dalam konteks ini, izin harus dijadikan instrumen pengendalian, bukan instrumen penguasaan. “Dengan demikian, swasta tidak boleh melakukan penguasaan atas sumber air atau sumber daya air tetapi hanya dapat melakukan pengusahaan dalam jumlah atau alokasi tertentu saja sesuai dengan alokasi yang ditentukan dalam izin yang diberikan oleh negara secara ketat,” ujar Hakim Konstitusi Aswanto.

Petani Tidak Dikenai Biaya Pengelolaan SDA

Hal lain yang dipertimbangkan MK, terkait prinsip “penerima manfaat jasa pengelolaan sumber daya air wajib menanggung biaya pengelolaan” harus dimaknai sebagai prinsip yang tidak menempatkan air sebagai objek untuk dikenai harga secara ekonomi. Dengan demikian, tidak ada harga air sebagai komponen penghitungan jumlah yang harus dibayar oleh penerima manfaat. Di samping itu, prinsip ini harus dilaksanakan secara fleksibel dengan tidak mengenakan perhitungan secara sama tanpa mempertimbangkan macam pemanfaatan sumber daya air. “Oleh karena itu, petani pemakai air, pengguna air untuk keperluan pertanian rakyat dibebaskan dari kewajiban membiayai jasa pengelolaan sumber daya air,” sambung Aswanto.

Prinsip kelima, terkait hak ulayat masyarakat hukum adat yang masih hidup atas sumber daya air diakui, sesuai dengan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945. Adanya ketentuan tentang pengukuhan kesatuan masyarakat hukum adat yang masih hidup melalui Peraturan Daerah harus dimaknai tidak bersifat konstitutif melainkan bersifat deklaratif. Terakhir, lanjut Aswanto, pada prinsipnya pengusahaan air untuk negara lain tidak diizinkan. Pemerintah hanya dapat memberikan izin pengusahaan air untuk negara lain apabila penyediaan air untuk berbagai kebutuhan sendiri telah terpenuhi. Kebutuhan dimaksud, antara lain, kebutuhan pokok, sanitasi lingkungan, pertanian, ketenagaan, industri, pertambangan, perhubungan, kehutanan dan keanekaragaman hayati, olah raga, rekreasi dan pariwisata, ekosistem, estetika serta kebutuhan lain. “Berdasarkan seluruh pertimbangan sebagaimana diuraikan di atas tampak bahwa hak penguasaan oleh negara atas air adalah ‘ruh’ atau ‘jantung’ dari Undang-Undang SDA sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945,” tuturnya.

Dengan alasan tersebut, MK pun memeriksa pelaksanaan dari UU SDA, dalam hal ini Peraturan Pemerintah terkait dengan pengujian UU SDA sehingga apabila maksud tersebut ternyata bertentangan dengan penafsiran yang diberikan oleh Mahkamah, hal itu menunjukkan bahwa Undang-Undang yang bersangkutan memang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Meskipun Pemerintah telah menetapkan enam Peraturan Pemerintah untuk melaksanakan UU SDA a quo, namun menurut Mahkamah keenam Peraturan Pemerintah tersebut tidak memenuhi enam prinsip dasar pembatasan pengelolaan sumber daya air. Oleh karena permohonan para Pemohon berkaitan dengan jantung UU SDA maka permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

Dalam pokok permohonannya, para pemohon menjelaskan ada penyelewengan terhadap pertimbangan MK dalam putusan perkara 58-59-60-63/PUU-II/2004 dan perkara 8/PUU-III/2005, perihal pengujian UU Nomor 7/2004 tentang Sumber Daya Air. Penyelewengan norma tersebut  berdampak dalam pelaksanaannya yang cenderung membuka peluang privatisasi dan komersialisasi yang merugikan masyarakat. Sejak terbitnya PP No. 16/2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (PP SPAM), semakin menegaskan kuatnya peran swasta dalam pengelolaan air. Padahal, UU SDA menegaskan, pengembangan SPAM merupakan tanggung jawab pemerintah pusat/pemerintah daerah, sehingga penyelenggaranya adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN)/Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Hak Guna Pakai Air menurut UU SDA hanya dinikmati oleh pengelola yang mengambil dari sumber air, bukan para konsumen yang menikmati air siap pakai yang sudah didistribusikan. (Lulu Anjarsari)

2.UU Perkoperasian

Roh korporasi terus merasuk ke sendi-sendi kehidupan negara, termasuk jiwa usaha yang sesuai dengan kegotongroyongan koperasi. Gara-gara bernuansa korporasi, UU No. 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK). Tak tanggung-tanggung, yang dibatalkan adalah seluruh materi muatan Undang-Undang tersebut.

Selain karena berjiwa korporasi, UU Perkoperasian telah menghilangkan asas kekeluargaan dan gotong royong yang menjadi ciri khas koperasi. Menurut Mahkamah, UU Perkoperasian 2012 bertentangan dengan UUD 1945, dan menjadi tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat setelah putusan ini.

Untuk menghindari kekosongan hukum, Mahkamah menyatakan berlaku kembali UU Perkoperasian 1992. ”Undang-Undang No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian berlaku untuk sementara waktu sampai dengan terbentuknya UU yang baru,” kata Ketua Majelis Hakim Hamdan Zoelva saat membacakan putusan bernomor 28/PUU-XI/2013 di ruang sidang MK, Rabu (28/5).

Permohonan ini diajukan Gabungan Koperasi Pegawai Republik Indonesia (GPRI) Provinsi Jawa Timur, Pusat Koperasi Unit Desa (Puskud) Jawa Timur, Pusat Koperasi Wanita Jawa Timur (Puskowanjati), Pusat Koperasi An-Nisa Jawa Timur, Pusat Koperasi Bueka Assakinah Jawa Timur, Gabungan Koperasi Susu Indonesia, Agung Haryono, dan Mulyono. Mereka menguji Pasal 1 angka 1, Pasal 50 ayat (1), Pasal 55 ayat (1), Pasal 56 ayat (1), Pasal 66, Pasal 67, Pasal 68, Pasal 69, Pasal 70, Pasal 71, Pasal 72, Pasal 73, Pasal 74, Pasal 75, Pasal 76, Pasal 77, Pasal 80, Pasal 82, dan Pasal 83 UU Perkoperasian 2012.

Para pemohon menilai sejumlah pasal yang mengatur norma badan hukum koperasi, modal penyertaan dari luar anggota, kewenangan pengawas dan dewan koperasi itu dinilai mencabut roh kedaulatan rakyat, demokrasi ekonomi, asas kekeluargaan, kebersamaan yang dijamin konstitusi.

Misalnya, definisi koperasi menempatkan koperasi hanya sebagai ”badan hukum” dan/atau sebagai subjek berakibat pada korporatisasi koperasi. Membuka peluang modal penyertaan dari luar anggota yang akan dijadikan instrumen oleh pemerintah dan atau pemilik modal besar untuk diinvestasikan pada koperasi. Hal itu bentuk pengerusakan kemandirian koperasi. Karena itu, para pemohon meminta MK membatalkan pasal-pasal itu karena bertentangan dengan UUD 1945.

Mahkamah menilai Pasal 1 angka 1 UU Perkoperasian yang menyebut koperasi sebagai badan hukum tidak mengandung pengertian substantif, merujuk pada pengertian sebagai bangunan perusahaan khas. Hal tidak sejalan dengan koperasi seperti dimaksud Pasal 33 ayat (1) UUD 1945.

”Dalil pemohon bahwa pengertian koperasi mengandung individualisme, sehingga dalil pemohon beralasan menurut hukum,” kata anggota Majelis, Maria Farida Indrati saat membacakan pertimbangan hukumnya.

Pasal 50 ayat (1) huruf a, ayat (2), huruf a dan e dan Pasal 56 ayat (1) yang memberi tugas kepada pengawas untuk mengusulkan pengurus, menerima atau menolak anggota baru hingga memberhentikan anggota kontradiktif dengan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 29 ayat (2) yang menjadikan demokrasi dan persamaan sebagai nilai dasar kegiatan koperasi. ”Pasal itu bertentangan dengan prinsip demokrasi ekonomi,” tuturnya.

Maria melanjutkan Pasal 68 dan Pasal 69 yang mengharuskan anggota koperasi membeli sertipikat modal koperasi adalah norma yang tidak sesuai prinsip koperasi yang bersifat sukarela dan terbuka dan bertentangan dengan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945. ”Ini berarti orientasi koperasi telah bergeser ke arah usaha bersama sebagai modal (materil dan finansial) utamanya,” lanjutnya.

Ditegaskan Mahkamah UU Perkoperasian mengutamakan skema permodalan materiil dan finansial yang mengesampingkan modal sosial yang justru menjadi ciri fundamental koperasi sebagai suatu entitas khas pelaku ekonomi berdasarkan UUD 1945.

Karenanya, filosofi UU Perkoperasian ternyata tidak sesuai dengan hakikat susunan perekonomian sebagai usaha bersama dan berdasarkan asas kekeluargaan yang termuat dalam Pasal 33 ayat (1) UUD 1945. ”Pengertian koperasi itu ternyata telah dielaborasi dalam pasal-pasal lain dalam UU Perkoperasian, sehingga mereduksi atau bahkan menegasikan hak dan kewajiban anggota dengan menjadikan kewenangan pengawas terlalu luas.”

Akibatnya, menurut Mahkamah, koperasi menjadi sama dan tidak berbeda dengan perseroan terbatas. Koperasi menjadi kehilangan roh konstitusionalnya sebagai entitas pelaku ekonomi khas bangsa yang berfilosofi gotong royong. Mahkamah berpendapat meskipun permohonan pemohon hanya mengenai pasal tertentu, namun karena pasal tersebut mengandung materi muatan norma subtansial yang menjadi jantung UU Perkoperasian, maka harus dibatalkan seluruhnya.

”Sehingga jika hanya pasal-pasal tersebut yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai hukum mengikat maka akan menjadikan pasal-pasal lain tidak dapat berfungsi lagi,” kata Maria.

Usai persidangan, salah satu pemohon Wigatiningsih mengungkapkan pembatalan UU Perkoperasian sudah sejalan dengan jati diri koperasi. Karena itu, sejak putusan adanya putusan ini saat ini koperasi bukan lagi berbadan hukum yang pengoperasiannya lebih condong seperti Perseroan Terbatas (PT).

Begitupula, modal pengelolaan koperasi pun berasal dari anggota, bukanlah dari non-anggota (pihak asing). “Jadi kalau ada pemodal dari luar tentunya keuntungan bukan lagi milik anggota, malah menjadi milik pemodal. Jadi ada kekuasaan tertentu, tidak sama dengan ’ruh’ koperasi terdahulu,” kata Wigatiningsih.

Pemohon menyatakan tetap konsisten terhadap UU Koperasi yang lama hingga terbitnya peraturan yang baru.

 

DAFTAR PUSTAKA

http://www.putramelayu.web.id/2013/10/beberapa-undang-undang-yang-paling.html

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Berita&id=10634#.VwSy_KR97IU

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5385bfa83b01f/uu-perkoperasian-dibatalkan-karena-berjiwa-korporasi

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERKAITAN DENGAN PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN ANTI KORUPSI

Etika-dan-Religiusitas-Anti-Korupsi-580x330

 

BAB I

PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang

Korupsi adalah kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang dapat mendatangkan kerugian bagi kehidupan bangsa dan bernegara,  serta mengganggu stabilitas perekonomian  negara. Oleh karena itu, pemerintah selaku penyelenggara kehidupan bernegara perlu memberikan perlindungan dan kesejahteraan masyarakat melalui berbagai kebijakan yang teragenda dalam program pembangunan nasional. Dalam kaitan itu, bukti keseriusan pemerintah dalam upaya pencegahan  dan  pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,  Presiden telah menerbitkan Inpres Nomor 9 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2011.  Inpres ini memerinci langkah-langkah pencegahan dan pemberantasan korupsi yang  mencakup enam bidang strategi, yaitu pencegahan, penindakan, harmonisasi peraturan dan perundang-undangan, penyelamatan aset hasil korupsi, kerja sama internasional, dan mekanisme pelaporan, dengan merujuk pada Prioritas Pembangunan Nasional dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2010-2014 dan Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2011. Dalam rangka melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam Inpres tersebut, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan telah melakukan inventarisasi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan peraturan di bidang  Tindak Pidana Korupsi yang disusun dalam bentuk database peraturan perundang-undang yang dapat diakses melalui website http://www.djpp.kemenkumham.go.id, guna memudahkan partisipasi masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.

Rumusan Masalah

  1. Bagaimana Usaha Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi di Indonesia?
  2. Apa Landasan Hukum terkait dengan Pencegahan dan Pemberantasan Anti Korupsi.

Tujuan

  1. Dapat mengetahui Usaha Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi di Indonesia.
  2. Dapat mengetahui Landasan Hukum terkait dengan Pencegahan dan Pemberantasan Anti Korupsi.

 

BAB II

PEMBAHASAN

Usaha Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi di Indonesia

Terbitnya Instruksi Presiden (Inpres) 5/2004 telah mendorong berbagai prakarsa di lingkungan pemerintahan, baik di Pusat maupun Daerah. Melalui Inpres Percepatan Pemberantasan Korupsi tersebut Presiden mengamanati agar ada langkah-langkah strategis untuk mempercepat pencegahan dan pemberantasan korupsi (PPK). Secara perlahan namun pasti, upaya dan kesadaran PPK, baik di ranah kebijakan pemerintah, pembentukan dan konsolidasi kelembagaan, hingga pada tataran kesadaran masyarakat, memperlihatkan perkembangan yang cukup menggembirakan. Kebijakan-kebijakan menyangkut itu sebenarnya juga telah dirumuskan. Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi 2004 – 2009 yang merupakan pelaksanaan Instruksi Khusus diktum 11 butir 3 Inpres 5/2004, adalah salah satunya. Selain itu, ada pula prakarsa dari pemerintah daerah (Pemda) tertentu untuk mengembangkan Rencana Aksi Daerah (RAD) Pemberantasan Korupsi dan memelopori usaha-usaha pengembangan kebijakan inovatif yang terbukti mampu mencegah praktik korupsi di dalam birokrasi pemerintahan.

Itikad PPK tiada henti merupakan komitmen kuat untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih dan berwibawa. Pelaksanaan Inpres 5/2004 adalah awalnya, yang kemudian disusul dengan penerbitan Inpres 9/2011 (tentang Rencana Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2011) pada 12 Mei 2011 dan Inpres 17/2011 (tentang Aksi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2012) pada 19 Desember 2011.

Pemerintah juga telah meratifikasi United Nations Convention against Corruption (Konvensi PBB Antikorupsi, UNCAC) 2003 melalui UU 7/2006. 12 Strategi Nasional Pencegahan & Pemberantasan Korupsi Ratifikasi tersebut secara politis merupakan bentuk komitmen Indonesia kepada dunia internasional untuk turut berkhidmat dalam PPK, sekaligus sebagai konsolidasi ke dalam melalui penyesuaian-kembali langkahlangkah strategis yang dibutuhkan. Sepanjang empat tahun terakhir, Pemerintah menyusun Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi (Stranas PPK) yang mencakupi tujuan jangka panjang dan menengah. Stranas PPK adalah arah dan acuan dari berbagai upaya PPK yang lebih komprehensif bagi seluruh pemangku kepentingan. Acuan itu dibutuhkan agar berdampak konkret bagi peningkatan kesejahteraan, keberlangsungan pembangunan yang berkelanjutan, serta konsolidasi demokrasi.

Penyusunan Stranas PPK ditempuh melalui pelibatan aktif berbagai elemen pemangku kepentingan, baik masyarakat madani maupun pemerintah. Komitmen politik yang lebih kuat, strategi yang lebih sistematiskomprehensif, serta perumusan kebijakan yang lebih fokus-konsolidatif dalam rangka mendorong percepatan PPK telah dipahami oleh segenap pemangku kepentingan sebagai kerja tiada henti.

Stranas PPK memiliki visi jangka panjang dan menengah. Visi periode jangka panjang (2012-2025) adalah: “terwujudnya kehidupan bangsa yang bersih dari korupsi dengan didukung nilai budaya yang berintegritas”. Adapun untuk jangka menengah (2012-2014) bervisi “terwujudnya tatakepemerintahan yang bersih dari korupsi dengan didukung kapasitas pencegahan dan penindakan serta nilai budaya yang berintegritas”. Visi jangka panjang dan menengah itu akan diwujudkan di segenap ranah, baik di pemerintahan dalam arti luas, masyarakat sipil, hingga dunia usaha.

Visi dituangkan ke dalam misi-misi berikut: (1) membangun dan memantapkan sistem, mekanisme, kapasitas pencegahan dan penindakan korupsi yang terpadu secara nasional; (2) melakukan reformasi peraturan perundang-undangan nasional yang mendukung PPK secara konsisten, terkonsolidasi, dan tersistematis; (3) membangun dan mengonsolidasikan sistem dan mekanisme penyelamatan aset hasil korupsi melalui kerjasama nasional dan internasional secara efektif; (4) membangun dan menginternalisasikan budaya antikorupsi pada tata-kepemerintahan dan masyarakat; serta (5) mengembangkan dan mempublikasikan sistem pelaporan kinerja implementasi stranas PPK secara terintegrasi. 13 Strategi Nasional Pencegahan & Pemberantasan Korupsi Dengan tercapainya Visi dan Misi tersebut melalui pelaksanaan Stranas PPK secara keseluruhan diharapkan akan terjadi peningkatan pada Indeks Persepsi Korupsi di Indonesia, dan terdapat kesesuaian antara pengaturan antikorupsi di Indonesia dengan klausul UNCAC. Dalam jangka panjang tercapainya Visi dan Misi tersebut akan tercermin pula pada peningkatan indeks Sistem Integritas Nasional (SIN). Untuk mewujudkan Visi dan Misi tersebut maka telah ditetapkan enam strategi PPK. Di bawah ini adalah keenam strategi dimaksud:

  1. Pencegahan.

Korupsi masih terjadi secara masif dan sistematis. Praktiknya bisa berlangsung dimanapun, di lembaga negara, lembaga privat, hingga di kehidupan sehari-hari. Melihat kondisi seperti itu, maka pencegahan menjadi layak didudukkan sebagai strategi perdananya. Melalui strategi pencegahan, diharapkan muncul langkah berkesinambungan yang berkontribusi bagi perbaikan ke depan. Strategi ini merupakan jawaban atas pendekatan yang lebih terfokus pada pendekatan represif. Paradigma dengan pendekatan represif yang berkembang karena diyakini dapat memberikan efek jera terhadap pelaku tindak pidana korupsi (tipikor). Sayangnya, pendekatan represif ini masih belum mampu mengurangi perilaku dan praktik koruptif secara sistematis-massif. Keberhasilan strategi pencegahan diukur berdasarkan peningkatan nilai Indeks Pencegahan Korupsi, yang hitungannya diperoleh dari dua sub indikator yaitu Control of Corruption Index dan peringkat kemudahan berusaha (ease of doing business) yang dikeluarkan oleh World Bank. Semakin tinggi angka indeks yang diperoleh, maka diyakini strategi pencegahan korupsi berjalan semakin baik.

  1. Penegakan Hukum.

Masih banyak kasus korupsi yang belum tuntas, padahal animo dan ekspektasi masyarakat sudah tersedot sedemikian rupa hingga menanti-nanti adanya penyelesaian secara adil dan transparan. Penegakan hukum yang inkonsisten terhadap hukum positif dan prosesnya tidak transparan, pada akhirnya, berpengaruh pada tingkat kepercayaan (trust) masyarakat terhadap hukum dan aparaturnya. Dalam tingkat kepercayaan yang lemah, masyarakat tergiring ke arah opini bahwa hukum tidak lagi dipercayai sebagai wadah penyelesaian konflik. Masyarakat cenderung menyelesaikan konflik dan permasalahan mereka melalui 14 Strategi Nasional Pencegahan & Pemberantasan Korupsi caranya sendiri yang, celakanya, acap berseberangan dengan hukum. Belum lagi jika ada pihak-pihak lain yang memanfaatkan inkonsistensi penegakan hukum demi kepentingannya sendiri, keadaaan bisa makin runyam. Absennya kepercayaan di tengah-tengah masyarakat, tak ayal, menumbuhkan rasa tidak puas dan tidak adil terhadap lembaga hukum beserta aparaturnya. Pada suatu tempo, manakala ada upaya-upaya perbaikan dalam rangka penegakan hukum di Indonesia, maka hal seperti ini akan menjadi hambatan tersendiri. Untuk itu, penyelesaian kasus-kasus korupsi yang menarik perhatian masyarakat mutlak perlu dipercepat. Tingkat keberhasilan strategi penegakan hukum ini diukur berdasarkan Indeks Penegakan Hukum Tipikor yang diperoleh dari persentase penyelesaian setiap tahapan dalam proses penegakan hukum terkait kasus Tipikor, mulai dari tahap penyelesaian pengaduan Tipikor hingga penyelesaian eksekusi putusan Tipikor. Semakin tinggi angka Indeks Penegakan Hukum Tipikor, maka diyakini strategi Penegakan Hukum berjalan semakin baik.

  1. Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan.

Meratifikasi UNCAC, adalah bukti konsistensi dari komitmen Pemerintah Indonesia untuk mempercepat pemberantasan korupsi. Sebagai konsekuensinya, klausulklausul di dalam UNCAC harus dapat diterapkan dan mengikat sebagai ketentuan hukum di Indonesia. Beberapa klausul ada yang merupakan hal baru, sehingga perlu diatur/diakomodasi lebih-lanjut dalam regulasi terkait pemberantasan korupsi selain juga merevisi ketentuan di dalam regulasi yang masih tumpang-tindih menjadi prioritas dalam strategi ini. Tingkat keberhasilan strategi ini diukur berdasarkan persentase kesesuaian regulasi anti korupsi Indonesia dengan klausul UNCAC. Semakin mendekati seratus persen, maka peraturan perundang-undangan terkait pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia semakin lengkap dan sesuai dengan common practice yang terdapat pada negara-negara lain.

  1. Kerjasama Internasional dan Penyelamatan Aset Hasil Tipikor.

Berkenaan dengan upaya pengembalian aset hasil tipikor, baik di dalam maupun luar negeri, perlu diwujudkan suatu mekanisme pencegahan dan pengembalian aset secara langsung sebagaimana ketentuan UNCAC. Peraturan perundang-undangan Indonesia belum mengatur pelaksanaan 15 Strategi Nasional Pencegahan & Pemberantasan Korupsi dari putusan penyitaan (perampasan) dari negara lain, lebih-lebih terhadap perampasan aset yang dilakukan tanpa adanya putusan pengadilan dari suatu kasus korupsi (confiscation without a criminal conviction). Penyelamatan aset perlu didukung oleh pengelolaan aset negara yang dilembagakan secara profesional agar kekayaan negara dari aset hasil tipikor dapat dikembalikan kepada negara secara optimal. Keberhasilan strategi ini diukur dari persentase pengembalian aset hasil tipikor ke kas negara berdasarkan putusan pengadilan dan persentase tingkat keberhasilan (success rate) kerjasama internasional terkait pelaksanaan permintaan dan penerimaan permintaan Mutual Legal Assistance (MLA) dan Ekstradisi. Semakin tinggi pengembalian aset ke kas negara dan keberhasilan kerjasama internasional, khususnya dibidang tipikor, maka strategi ini diyakini berjalan dengan baik.

  1. Pendidikan dan Budaya Antikorupsi.

Praktik-praktik korupsi yang kian masif memerlukan itikad kolaboratif dari Pemerintah beserta segenap pemangku kepentingan. Wujudnya, bisa berupa upaya menanamkan nilai budaya integritas yang dilaksanakan secara kolektif dan sistematis, baik melalui aktivitas pendidikan anti korupsi dan internalisasi budaya anti korupsi di lingkungan publik maupun swasta. Dengan kesamaan cara pandang pada setiap individu di seluruh Indonesia bahwa korupsi itu jahat, dan pada akhirnya para individu tersebut berperilaku aktif mendorong terwujudnya tata-kepemerintahan yang bersih dari korupsi diharapkan menumbuhkan prakarsa-prakarsa positif bagi upaya PPK pada khususnya, serta perbaikan tata-kepemerintahan pada umumnya. Tingkat keberhasilan strategi ini diukur berdasarkan Indeks Perilaku Antikorupsi yang ada dikalangan tata-kepemerintahan maupun individu di seluruh Indonesia. Semakin tinggi angka indeks ini, maka diyakini nilai budaya anti korupsi semakin terinternalisasi dan mewujud dalam perilaku nyata setiap individu untuk memerangi tipikor.

  1. Mekanisme Pelaporan Pelaksanaan Pemberantasan Korupsi.

Strategi yang mengedepankan penguatan mekanisme di internal Kementerian/ Lembaga, swasta, dan masyarakat, tentu akan memperlancar aliran data/ informasi terkait progres pelaksanaan ketentuan UNCAC. Konsolidasi dan publikasi Informasi di berbagai media, baik elektronik maupun 16 Strategi Nasional Pencegahan & Pemberantasan Korupsi cetak, termasuk webportal PPK, akan mempermudah pengaksesan dan pemanfaatannya dalam penyusunan kebijakan dan pengukuran kinerja PPK. Keterbukaan dalam pelaporan kegiatan PPK akan memudahkan para pemangku kepentingan berpartisipasi aktif mengawal segenap upaya yang dilakukan oleh pemerintah, lembaga publik maupun sektor swasta. Keberhasilannya diukur berdasarkan indeks tingkat kepuasan pemangku kepentingan terhadap laporan PPK. Semakin tinggi tingkat kepuasan pemangku kepentingan, maka harapannya, semua kebutuhan informasi dan pelaporan terkait proses penyusunan kebijakan dan penilaian progres PPK dapat semakin terpenuhi sehingga upaya PPK dapat dikawal secara berkesinambungan dan tepat sasaran.

Landasan Hukum terkait dengan Pencegahan dan Pemberantasan Anti Korupsi

Korupsi adalah kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang dapat mendatangkan kerugian bagi kehidupan bangsa dan bernegara,  serta mengganggu stabilitas perekonomian  negara. Oleh karena itu, pemerintah selaku penyelenggara kehidupan bernegara perlu memberikan perlindungan dan kesejahteraan masyarakat melalui berbagai kebijakan yang teragenda dalam program pembangunan nasional.

Dalam kaitan itu, bukti keseriusan pemerintah dalam upaya pencegahan  dan  pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,  Presiden telah menerbitkan Inpres Nomor 9 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2011.  Inpres ini memerinci langkah-langkah pencegahan dan pemberantasan korupsi yang  mencakup enam bidang strategi, yaitu pencegahan, penindakan, harmonisasi peraturan dan perundang-undangan, penyelamatan aset hasil korupsi, kerja sama internasional, dan mekanisme pelaporan, dengan merujuk pada Prioritas Pembangunan Nasional dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2010-2014 dan Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2011. Dalam rangka melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam Inpres tersebut, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan telah melakukan inventarisasi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan peraturan di bidang  Tindak Pidana Korupsi yang disusun dalam bentuk database peraturan perundang-undang yang dapat diakses melalui website http://www.djpp.kemenkumham.go.id, guna memudahkan partisipasi masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.

Daftar Peraturan Perundang-undangan di bidang Tindak Pidana Korupsi

NO. NOMOR PERATURAN JUDUL PERATURAN
UNDANG – UNDANG
1 Undang-Undang Nomor 11
Tahun 1980
Tindak Pidana Suap
2 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
3 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994 Perubahan UU 6-1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan
4 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
5 Undang-Undang 31 Tahun 1999 Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
6 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 Perubahan Kedua UU 6-1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan
7 Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001
Perubahan Atas Undang-undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
8 Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2002
Kepolisian Negara Republik Indonesia
9 Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
10 Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003
Mahkamah Konstitusi
11 Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2004
Kejaksaan Republik Indonesia
12 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana
13 Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2006
Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi PBB Menentang Korupsi, 2003)
14 Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2006
Badan Pemeriksa Keuangan
15 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata cara Perpajakan
16 Undang-Undang Nomor 14
Tahun 2008
Keterbukaan Informasi Publik
17 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009 Pengesahan United Nations Convention Against Transnational Organized Crime (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional Yang Terorganisasi)
18 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Pelayanan Publik
19 Undang-Undang Nomor 46
Tahun 2009
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
20 Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009
Kekuasaan Kehakiman
21 Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2010
Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
22 Undang-Undang No. 8
Tahun 2010
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
22 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi
PERATURAN PEMERINTAH
1 Peraturan Pemerintah
Nomor 19 Tahun 2000
Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
2 Peraturan Pemerintah
Nomor 71 Tahun 2000
Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
3 Peraturan Pemerintah
Nomor 57 Tahun 2003
Tata Cara Perlindungan Khusus Bagi Pelapor dan Saksi Tindak Pidana Pencucian Uang
4 Peraturan Pemerintah
Nomor 63 Tahun 2005
Sistem Manajemen Sumber Daya Manusia Komisi Pemberantasan Korupsi
5 Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006 Pelaporan Keuangan Dan Kinerja Instansi Pemerintah
6 Peraturan Pemerintah
Nomor 29 Tahun 2006
Hak Keuangan Kedudukan Protokol Dan Perlindungan Keamanan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi
7 Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 Sistem Pengendalian Intern Pemerintah
8 Peraturan Pemerintah
Nomor 36 Tahun 2009
Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2006 tentang Hak Keuangan, Kedudukan Protokol, Dan Perlindungan Keamanan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi
PERATURAN PRESIDEN
1 Peraturan Presiden Nomor 49 Tahun 2005 Uang Kehormatan Bagi Hakim Pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
2 Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2006 Honorarium Bagi Ketua, Wakil Ketua, Anggota, dan Sekretaris Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
3 Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
4 Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025
5 Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2010 Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 49 Tahun 2005 Tentang Uang Kehormatan Bagi Hakim Pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
KEPUTUSAN PRESIDEN
1 Keputusan Presiden
Nomor 1 Tahun 2004
Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
2 Keputusan Presiden
Nomor 45 Tahun 2004
Pengalihan Organisasi, Administrasi, dan Finansial Sekretariat Jenderal Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara ke Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
3 Keputusan Presiden
Nomor 59 Tahun 2004
Pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
4 Keputusan Presiden
Nomor 10 Tahun 2007
Pengakhiran Tugas dan Pembubaran Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
INSTRUKSI PRESIDEN
1 Intruksi Presiden
Nomor 30 Tahun 1998
Pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
2 Intruksi Presiden
Nomor 2 Tahun 2004
Inpres 2/2004 Dukungan Kelancaran Pelaksanaan Proses Hukum Oleh Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Dan Penyelenggaraan Pemerintahan Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
3 Intruksi Presiden
Nomor 5 Tahun 2004
Percepatan Pemberantasan Korupsi
4 Intruksi Presiden
Nomor 9 Tahun 2011
Rencana Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2011
PERATURAN MENTERI
1 Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor M.HH-01.PW.02.03 Pedoman Penetapan Wilayah Bebas Korupsi (WBK) Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
2 Permen PAN dan Reformasi Birokrasi Nomor 7 Tahun 2010 Pedoman Penilaian Kinerja Unit Pelayanan Publik
3 Permen PAN dan reformasi Birokrasi Nomor 20 Tahun 2010 Road Map Reformasi 2010-2014
4 Permen PAN dan Reformasi Birokrasi Nomor 29 Tahun 2010 Pedoman Penyusunan Penetapan Kinerja dan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah

 

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Visi dan Misi Stranas PPK harus bisa diturunkan ke dalam level implementasi. Untuk itulah dibutuhkan strategi. Kini, enam strategi nasional telah dirumuskan, yakni: (1) melaksanakan upaya-upaya pencegahan, (2) melaksanakan langkah-langkah strategis di bidang penegakan hukum, (3) melaksanakan upaya-upaya harmonisasi penyusunan peraturan perundang-undangan di bidang pemberantasan korupsi dan sektor terkait lain, (4) melaksanakan kerjasama internasional dan penyelamatan aset hasil tipikor, (5) meningkatkan upaya pendidikan dan budaya anti korupsi, (6) meningkatkan koordinasi dalam rangka mekanisme pelaporan pelaksanaan upaya pemberantasan korupsi. Ke-enam strategi tersebut selaras dengan upaya pencapaian indikator hasil utama (Key Result Indicator) Stranas PPK, yaitu: (1) Indeks Persepsi Korupsi, (2) Kesesuaian regulasi Indonesia dengan ketentuan UNCAC, dan (3) Indeks Sistem Integritas Nasional. Perbaikan pada setiap strategi diyakini akan berpengaruh terhadap membaiknya indikator hasil utama stranas PPK tersebut.

Bukti keseriusan pemerintah dalam upaya pencegahan  dan  pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,  Presiden telah menerbitkan Inpres Nomor 9 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2011.  Inpres ini memerinci langkah-langkah pencegahan dan pemberantasan korupsi yang  mencakup enam bidang strategi, yaitu pencegahan, penindakan, harmonisasi peraturan dan perundang-undangan, penyelamatan aset hasil korupsi, kerja sama internasional, dan mekanisme pelaporan, dengan merujuk pada Prioritas Pembangunan Nasional dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2010-2014 dan Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2011.

 

DAFTAR PUSTAKA