PRINSIP-PRINSIP TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT

download

Dalam hukum pengangkutan dikenal adanya lima prinsip tanggung jawab pengangkut yaitu:
1.Tanggung Jawab Praduga Bersalah (Presumtion of Liabelity)
2.Tanggung Jawab Atas Dasar Kesalahan (Based on Fault or Negligence)
3.Tanggung Jawab Pengangkut Mutlak (Absolut Liability)
4.Pembatasan Tanggung Jawab Pengangkut (Limitation of Libelity)
5.Presumtion of Non Liability

a.Tanggung Jawab Praduga Bersalah (Presumtion of Liability)
Menurut prinsip ini, ditekankan bahwa selalu bertanggung jawab atas setiap kerugian yang timbul pada pengangkutan yang diselenggarakannya, tetapi jika pengangkut dapat membuktikan bahwa dia tidak bersalah, maka dia dibebaskan dari tanggung jawab membayar ganti rugi kerugian itu.
Beban pembuktian ini diberikan kepada pihak yang dirugikan dan bukan pada pengangkut. Hal ini diatur dalam pasal 1365 KUHPer tentang perbuatan melawan hukum (illegal act) sebagai aturan umum dan aturan khususnya diatur dalam undang-undang tentang masing-masung pengangkutan.
Prinsip ini hanya dijumpai dalam 86 ayat 2 Undang-undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran, yang menyatakan:
“jika perusahaan angkutan perairan dapat membuktikan bahwa kerugian sebagaimana dimaksud aya 1 huruf b: musnah, hilang atau rusaknya barang yang diangkut; c. Keterlambatan angkutan penumpang, dan atau barang yang diangkut; d. Kerugian pihak ketiga bukan disebabkan oleh kesalahannya, maka dia dapat dibebaskan sebagian atau seluruh dari tanggung jawabnya. Walaupun hanya terdapat pada pengangkutan perairan, bukan berarti pada pengangkutan darat dan pengangkutan udara tidak dibolehkan. Dalam perjanjian pengangkutan, perusahaan angkutan dan pengirim boleh menjanjikan prinsip tanggung jawab praduga, biasanya dirumuskan dengan “(kecuali jika perusahaan angkutan dapat membuktikan bahwa kerugian itu dapat karena kesalahannya)”.
Dalam KUHD juga menganut prinsip tanggung jawab karena praduga bersalah. Dalam ketentuan pasal 468 ayat 2 KUHD yaitu, “apabila barang yang diangkut itu tidak diserahkan sebagian atau seluruhnya atau rusak, pengangkut bertanggung jawab mengganti kerugian kepada pengirim, kecuali dia dapat membuktikan bahwa diserahkan sebagian atau seluruh atau rusaknya barang itu karena peristiwa yang tidak dapat dicegah atau tidak dapat dihindari terjadinya.”
Dengan demikian jelas bahwa dalam hukum pengangkutan di Indonesia, prinsip tanggung jawab karena kesalahan dan karena praduga bersalah keduanya dianut. Tetapi prinsip tanggung jawab karena kesalahan adalah asas, sedangkan prinsip tanggung jawab karena praduga adalah pengecualian, artinya pengangkut bertanggung jawab atas setiap kerugian yang timbul dalam penyelenggaraan pengangkutan, tetapi jika pengangkut berhasil membuktikan bahwa dia tidak bersalah atau lalai, maka dia dibebaskan dari tanggung jawab.
Beberapa pasal dalam Undang-undang Pengangkutan Tahun 1992 yang mengatur tentang prinsip tanggung jawab praduga bersalah adalah:
1.Pasal 45 UU Nomor 14 Tahun 1992 tentang Angukutan Lalu Lintas Jalan.
2.Pasal 28 ayat 1, 2 UU Nomor 13 Tahun 1992 tentang Perkereta Apian.
3.Pasal 43 ayat 1b dan pasal 44 UU No. 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan.

b.Tanggung Jawab atas Dasar Kesalahan (Based on Fault or Negligence)
Dapat dipahami, dalam prinsip ini jelas bahwa setiap pengangkut harus bertanggung jawab atas kesalahannya dalam penyelenggaraan pengangkutan dan harus mengganti rugi dan pihak yang dirugikan wajib membuktikan kesalahan pengangkut. Beban pembuktian ini diberikan kepada pihak yang dirugikan dan bukan pada pengangkut.9 Hal ini diatur dalam pasal 1365 KUHPer tentang perbuatan melawan hukum (illegal act) sebagai aturan umum dan aturan khususnya diatur dalam undang-undang tentang masing-masung pengangkutan.
Dalam KUHD, prinsip ini juga dianut, tepatnya pada pasal 468 ayat (2). Pada pengangkutan di darat yang menggunakan rel kereta api, tanggung jawab ini ditentukan dalam pasal 28 UU nomor 23 tahun 2007 tentang Perkeretaapian. Pada pengangkutan di darat yang melalui jalan umum dengan kendaraan bermotor, tanggung jawab ini di tentukan dalam pasal 28, pasal 29, pasal 31 dan pasal 45 UU nomor 14 tahun 1992 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan.
Pada pengangkutan di laut dengan menggunakan kapal, tanggung jawab ini di tentukan dalam pasal 86 UU nomor 21 tahun 1992 tentang Pelayaran. Dan berkaitan dengan angkutan udara, prinsip ini dapat ditemukan dalam pasal 43-45 Peraturan Pemerintah nomor 40 tahun 1995 tentang pengangkutan udara.10

c.Tanggung Jawab Pengangkut Mutlak (Absolut Liability)
Pada prinsip ini, titik beratnya adalah pada penyebab bukan kesalahannya. Menurut prinsip ini, pengangkut harus bertanggung jawab atas setiap kerugian yang timbul dalam pengangkutan yang diselenggarakan tanpa keharusan pembuktian ada tdaknya kesalahan pengangkut.
Prinsip ini tidak mengenal beban pembuktian, unsur kesalahan tak perlu dipersoalkan. Pengangkut tidak mungkin bebas dari tanggung jawab dengan alasan apapun yang menimbulkan kerugian itu.prinsip ini dapat dapat dirumuskan dengan kalimat: pengangkut bertanggung jawab atas setiap kerugian yang timbul karena peristiwa apapun dalam penyelenggaraan pengangkutan ini.
Dalam peraturan perundang-undangan mengenai pengangkutan, ternyata prinsip tanggung jawab mutlak tidak diatur, mungkin karena alasan bahwa pengangkut yang berusaha dibidang jasa angkutan tidak perlu di bebani dengan resiko yang terlalu berat. Akan tetapi tidak berarti bahwa pihak-pihak tidak boleh menggunakan prinsip ini dalam perjanjian pengangkutan. Para pihak boleh saja menjanjikan penggunaan prinsip ini untuk kepentingan praktis penyelesaian tanggung jawab, berdasarkan asas kebebasan berkontrak. Jika prinsip ini digunakan maka dalam perjanjian pengangkutan harus dinyatakan dengan tegas, misalnya pada dokumen pengangkutan.

d.Pembatasan tanggung jawab pengangkut (limitation of liability)
Bila jumlah ganti rugi sebagaimana yang ditentukan oleh pasal 468 KUHD itu tidak dibatasi, maka ada kemungkinan pengangkut akan menderita rugi dan jatuh pailit. Menghindari hal ini,, maka undang-undang memberikan batasan tentang ganti rugi. Jadi, pembatasan ganti rugi dapat dilakukan oleh pengangkut sendiri dengan cara mengadakan klausula dalam perjanjian pengangkutan, konosemen atau charter party, dan oleh pembentuk undang-undang. Hal ini diatur dalam pasal 475, 476 dan pasal 477 KUHD.11
Mengenai pembatasan tanggung jawab pengangkut dalam angkutan udara, diatur dalam pasal 24 ayat (2), pasal 28, pasal 29 ayat (1) dan pasal 33 Ordonansi Pengangkutan Udara. Pasal 30 merupakan pembatasan tanggung jawab yaitu banwa tanggung jawab pengangkut udara dibatasi sampai jumlah Rp.12.500,- per penumpang. Pasal 24 merupakan pembatasan siapa-siapa saja yang berhak menerima ganti rugi, yang dalam hal ini adalah : Suami/istri dari penumpang yang tewas,Anak atau anak-anaknya dari si mati Orang tua dari si mati. Pasal 28 menentuk in bahwa pengangkut udara tidak bertanggung jawab dalam hal kelambatan, pasal ini berbunyi “Jika tidak ada persetujuan Ijin, maka pengangkut bertanggung jawab untuk kerugian yang timbul karena kelambatan dalam pengangkutan penumpang, bagasi dan barang”.
Satu pasal lain mengenai pembatasan tanggung jawab pihak pengangkut adalah pasal 33, dimana pasal tersebut menentukan gugatan mengenai tanggung jawab atas dasar apapun juga hanya dapat diajukan dengan syarat-syarat dan batas-batas seperti yang dimaksudkan dalam peraturan ini.
Dengan terbatasnya gugatan mengenai tanggung jawab dari pihak pengangkut, maka terbatas pula tanggung jawab pihak pengangkut. Pembebasan Tanggung Jawab Pengangkut Dalam Ordonansi Pengangkutan Udara yang memuat ketentuan mengenai pembebasan adalah pasal 1 ayat (1), pasal 29 avat (1) dan pasal 36. Pasal 36 menemukan bahwa pengangkut bebas dari tanggungjawabnya dalam hal setelah dua tahun penumpang yang menderita kerugian tidak mengajukan tuntutannya.
Pasal 36 berbunyi “Gugatan mengenai tanggung jawab pengangkut harus diajukan dalam jangka waktu dua tahun terakhir mulai saat tibanya di tempat tujuan, atau mulai dari pesawat Udara seharusnya tiba, atau mulai pengangkutan Udara diputuskan jika tidak ada hak untuk menuntut dihapus.
Selain itu ada hal-hal yang membuat pengangkut tidak bertanggung jawab apabila timbul suatu keadaan yang sama sekali tidak diduga sebelumnya, contohnya adalah sebagai berikut : bahaya perang, sabotase, kebakaran, kerusuhan, kekacauan dalam negeri. Asuransi tanggung jawab dibidang pengangkutan udara didasarkan atas prinsip terjadinya peristiwa asuransi tersebut karena mencakup kerugian-kerugian yang terjadi selama jangka waktu asuransi dan dilandasi kerugian yang paling dekat berdasar atas produk yang keliru.
Pada Undang-undang No 1 tahun 2009 pengaturan mengenai tanggung jawab pengangkut dapat dilihat pada pasal 141 – 147.
Pasal 141
(1)Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap, atau luka-luka yang diakibatkan kejadian angkutan udara di dalam pesawat dan/atau naik turun pesawat udara.
(2)Apabila kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) timbul karena tindakan sengaja atau kesalahan dari pengangkut atau orang yang dipekerjakannya, pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang timbul dan tidak dapat mempergunakan ketentuan dalam undang-undang ini untuk membatasi tanggung jawabnya.
Aturan ini menggunakan Prinsip Tanggung jawab Mutlak (Strict Liability) , dimana pada ayat tersebut disebutkan bahwa pengangkut dikenai tanggung jawab tanpa melihat ada tau tidaknya kesalahan yang dari pengangkut.
Pada Ordonansi Pengangkutan Udara 1939, pengangkut masih dapat menyangkal keharusan bertanggung jawab asal dapat membuktikan bahwa pengangkut telah mengambil tindakan untuk menghindarkan kerugian atau bahwa pengangkut tidak mungkin untuk mengambil tindakan tersebut. Hal ini menggambarkan prinsip atas dasar Praduga, seperti yang disebut dalam pasal 24 ayat (1), 25 ayat (1), 28 dan 29 OPU; Pengangkut tidak bertanggungjawab untuk kerugian, apabila:
1.ia dapat membuktikan bahwa ia dan semua buruhnya telah mengambil segala tindakan yang perlu untuk menghindarkan kerugian;
2.ia dapat membuktikan bahwa ia tidak mungkin mengambil tindakan pencegahan itu;
3.kerugian itu disebabkan oleh kesalahan yang menderita itu sendiri;
4.kesalahan penderita kerugian membantu terjadinya kerugian itu
Dari penjelasan diatas, aturan mengenai tanggung jawab tadi merupakan salah satu bentuk perlindungan hukum bagi para pihak khususnya pengguna jasa angkutan udara. Tanggung jawab yang ditegaskan dalam undang-undang tadi akan meningkatkan kualitas dalam pemberian kenyamanan, pelayanan serta keselamatan bagi penumpang. Artinya secara normatif perlindungan hukum bagi penumpang telah ada, tinggal bagaimana pelaksanaan dari aturan tadi.12

e.Presumtion of non Liability
Dalam prinsip ini, pengangkut dianggap tidak memiliki tanggung jawab.13 Dalam hal ini, bukan berarti pengangkut membebaskan diri dari tanggung jawabnya ataupun dinyatakan bebas tanggungan atas benda yang diangkutnya, tetapi terdapat pengecualian-pengecualian dalam mempertanggungjawabkan suatu kejadian atas benda dalam angkutan. Pengaturan ini ditetapkan dalam :
1. pasal 43 ayat 1 b UU penerbangan
2. pasal 86 UU pelayaran

daftar pustaka

http://aishkhuw.blogspot.co.id/2010/10/prinsip-tanggung-jawab-pengangkut-dalam.html
Abdul Kadir Muhammad, 2008. Hukum Pengangkutan Niaga, cet 4Bandung : PT Citra Aditya Bakti.
Abdul Kadir Muhammad. 1991. Hukum Pengangkut Darat, laut dan Udara, (Jakarta : Cipta Aditya Bahkti
H.M.N Purwosutjipto. 2000. Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 5. Cet. 5. Jakarta : Penerbit Djambatan
http://akubukanmanusiapurba.blogspot.com/2010/07/perlindungan-hukum-bagi-pengguna-jasa.html diakses pada 10 Oktober 2010
http://balianzahab.wordpress.com/makalah-hukum/hukum-pengangkutan/pengangkutan-udara-dengan-asuransi/ diakses pada 10 Oktober 2010
Musa Taklima, Pengertian, Fungsi Dan Kegunaan Pengangkutan. Disampaikan dalam perkuliahan pertama hukum pengangkutan dan transportasi hukum bisnis syariah tanggal 22 september 2010
Rahayu Hartini. 2007. Hukum Pengangkutan, Pengangkutan Darat Melalui Jalan Umum dan Kereta Api, Pengangkutan Laut Serta Pengangkutan Udara di Indonesia. Malang : UMM Press
Sution Usman Adji, dkk. 1991. Hukum Pengangkutan di Indonesia, cet.2 Jakarta : PT Rinka Cipta,
Sutiono Usman Adji, dkk. 1990. Hukum Pengangkutan di Indonesia. Bandung : Rineka Citra

 

MATA KULIAH : HUKUM TRANSPORTASI

DOSEN : SURAJIMAN, SH, MHum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS NASIONAL

PERJANJIAN PENGANGKUTAN DALAM KUHPERDATA

Deal2

PENGERTIAN PERJANJIAN PENGANGKUTAN

1. Sifat hukum perjanjian pengangkutan adalah pelayanan berkala.
Dalam melaksanakan perjanjian pengangkutan itu, hubungan kerja antara pengirim dengan pengangkut tidak terus menerus, tetapi hanya kadang kala, kalau pengirim membutuhkan pengangkutan untuk mengirim barang. Hubungan semacam ini disebut “pelayanan berkala” sebab pelayanan itu tidak bersifat tetap, hanya kadang kala saja, sebab pengirim membutuhkan pengangkutan. Perjanjian yang bersifat “pelayanan berkala” ini disinggung dalam pasal 1601 KUHPerdata. (Ibid.)

2. Perjanjian pengangkutan tidak bersifat pemborongan.
Sifat hukum perjanjian pengangkutan bukan pelayanan berkala tapi pemborongan sebagaimana dimaksud pasal 1601 B KUH Perdata.

Pendapat ini didasarkan atas ketentuan Pasal 1617 KUH Perdata (Pasal penutup dari bab VII A tentang pekerjaan pemborongan). Namun pada waktu pembentuk undang-undang menetapkan pasal-pasal ini tidak memikirkan adanya “perjanjian pengangkutan”. Ketentuan pasal 1608, 1647, dan 1648 tidak bisa diterapkan pada perjanjian pengangkutan. Kecuali sifat “pekerjaan” yang dilakukan oleh pemborong. Pembentuk undang-undang menghendaki pekerjaan yang dilakukan oleh pemborong itu “dapat diraba” (tastbaar) yaitu yang tadinya tidak ada menjadi ada. Sedangkan pekerjaan yang dilakukan oleh pengangkut adalah suatu jasa dan tidak menimbulkan barang baru. Dengan penjelasan ini maka dapat disimpulkan bahwa perjanjian pengangkutan tidak bersifat pemborongan. (Ibid, hal. 8-9.)

3. Sifat hukum perjanjian pengangkutan adalah campuran.
Perjanjian pengangkutan merupakan perjanjian campuran karena mempunyai unsur pelayanan berkal (pasal 1601 –b KUHPerdata), unsur penyimpanan (bewargeving), dan unsur pemberian kuasa (lastgeving). (Ibid, hal. 9.)

R. Subekti mengatakan yang dimaksud dengan perjanjian pengangkutan yaitu suatu perjanjian dimana satu pihak menyanggupi untuk dengan aman membawa orang/barang dari satu tempat ke tempat lain, sedangkan pihak lain menyanggupi akan membayar ongkosnya. (R. Subekti, Aneka Perjanjian, PT Citra Aditya, Bandung 1995, hal. 69.)

ASAS PERJANJIAN PENGANGKUTAN

Ada empat asas pokok yang mendasari perjanjian pengangkutan:

1. Asas konsensual
asas ini tidak mensyaratkan bentuk perjanjian angkutan secara tertulis, sudah cukup apabila ada persetujuan kehendak antara pihak-pihak. Dalam kenyataannya, hampir semua perjanjian pengangkutan darat, laut, dan udara dibuat secara tidak tertulis, tetapi selalu didukung dokumen pengangkutan.

Dokumen pengangkutan bukan perjanjian tertulis melainkan sebagai bukti bahwa persetujuan diantara pihak-pihak itu ada.

Alasan perjanjian pengangkutan tidak dibuat tertulis karena kewajiban dan hak pihak-pihak telah ditentukan dalam undang-undang. Mereka hanya menunjuk (hal 24) atau menerapkanketentuan undang-undang.

2.Asas koordinasi
asas ini mensyaratkan kedudukan yang sejajar antara pihak-pihak dalam perjanjian pengangkutan.

Walaupun perjanjian pengangkutan merupakan ”pelayanan jasa”, asas subordinasi antara buruh dan majikan pada perjanjian perburuan tidak berlaku pada perjanjian pengangkutan.

3.Asas campuran
perjanjian pengangkutan merupakan campuran dari tiga jenis perjanjian, yaitu pemberian kuasa dari pengirim kepada pengangkut, penyimpan barang dari pengirim kepada pengangkut, dan melakukan pekerjaan pengangkutan yang diberikan oleh pengirim kepada pengangkut.

Jika dalam perjanjian pengangkutan tidak diatur lain, maka diantara ketentuan ketiga jenis perjanjian itu dapat diberlakukan. Hal ini ada hubungannya dengan asas konsensual.

4.Asas tidak ada hak retensi
penggunaan hak retensi bertentangan dengan fungsi dan tujuan pengangkutan. Penggunaan hak retensi akan menyulitkan pengangkut sendiri, misalnya penyediaan tempat penyimpanan, biaya penyimpanan, penjagaan dan perawatan barang.

TUJUAN PERJANJIAN PENGANGKUTAN

Perjanjian pengangkutan mempunyai tujuan untuk melindungi hak dari penumpang yang kurang terpenuhi oleh ulah para pelaku usaha angkutan umum karena dengan adanya perjanjian pengangkutan maka memberikan jaminan kepastian hukum bagi pihak-pihak yang mengadakan perjanjian.

Kitab Undang Undang Hukum Perdata Pasal 1338 ayat (3) telah memberikan suatu asas keadilan yaitu asas pelaksanaan perjanjian secara itikad baik jaminan keadilan itu juga di pedomani pada Pasal 1337 Kitab Undang Undang Hukum Perdata bahwa suatu perjanjian akan dapat dibatal kan jika bertentangan dengan Undang Undang Kesusilaan yang baik dan atau ketertiban umum.

SYARAT SAHNYA PERJANJIAN

Syarat sah perjanjian ada 4 (empat) terdiri dari syarat subyektif dan syarat objektif, diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu Syarat Subyektif (menyangkut para pembuatnya). Tidak dipenuhinya syarat dibawah ini, mengakibatkan perjanjian dapat dibatalkan (voidable).

1. Sepakat (Pasal 1321 – 1328 KUHPerdata)

Supaya perjanjian menjadi sah maka para pihak harus sepakat terhadap segala hal yang terdapat di dalam perjanjian dan memberikan persetujuannya atau kesepakatannya jika ia memang menghendaki apa yang disepakati. Dalam preambule perjanjian (sebelum masuk ke pasal-pasal), biasa tuliskan sebagai berikut “Atas apa yang disebutkan diatas, Para Pihak setuju dan sepakat hal-hal sebagai berikut:”

Pencantuman kata-kata setuju dan sepakat sangat penting dalam suatu perjanjian. Tanpa ada kata-kata ini (atau kata-kata lain yang bermaksud memberikan ikatan atau setuju saja atau sepakat saja), maka perjanjian tidak memiliki ikatan bagi para pembuatanya. Setuju dan sepakat dilakukan dengan penuh kesadaran di antara para pembuatnya, yang bisa diberikan secara lisan dan tertulis.

Suatu perjanjian dianggap cacat atau dianggap tidak ada apabila:

mengandung paksaan (dwang), termasuk tindakan atau ancaman atau intimidasi mental.
mengandung penipuan (bedrog), adalah tindakan jahat yang dilakukan salah satu pihak, misal tidak menginformasikan adanya cacat tersembunyi.
mengandung kekhilafan/kesesatan/kekeliruan(dwaling), bahwa salah satu pihak memiliki persepsi yang salah terhadap subyek dan obyek perjanjian. Terhadap subyek disebut error in persona atau kekeliruan pada orang, misal melakukan perjanjian dengan seorang artis, tetapi ternyata perjanjian dibuat bukan dengan artis, tetapi hanya memiliki nama dengan artis. Terhadap obyek disebut error in substantia atau kekeliruan pada benda, misal membeli batu akik, ketika sudah dibeli, ternyata batu akik tersebut palsu.
2. Cakap (Pasal 1329 – 1331 KUHPerdata)

Pasal 1329 KUHPerdata menyatakan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat perjanjian, kecuali apabila menurut undang-undang dinyatakan tidak cakap. Kemudian Pasal 1330 menyatakan bahwa ada beberapa orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian, yakni

Orang yang belum dewasa (dibawah 21 tahun, kecuali yang ditentukan lain)
Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan (curatele or conservatorship); dan
Perempuan yang sudah menikah
Berdasarkan pasal 330 KUHPerdata, seseorang dianggap dewasa jika dia telah berusia 21 tahun atau kurang dari 21 tahun tetapi telah menikah. Kemudian berdasarkan pasal 47 dan Pasal 50 Undang-Undang No 1/1974 menyatakan bahwa kedewasaan seseorang ditentukan bahwa anak berada di bawah kekuasaan orang tua atau wali sampai dia berusia 18 tahun.[1]

Berkaitan dengan perempuan yang telah menikah, pasal 31 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 menentukan bahwa masing-masing pihak (suami atau isteri) berhak melakukan perbuatan hukum.[2]

Selain itu khusus suami istri, mohon diperhatikan juga apakah dalam perkawinan terdapat perjanjian pisah harta.

Sindikat Notes: Maka dari itu, di dalam suatu perjanjian, terhadap pribadi individu para pihak, dicantumkan Nomor KTP, yang membuktikan kecakapan pihak untuk membuat suatu perjanjian. Apabila pihak tersebut adalah badan hukum misal PT, maka Direktur PT sebagai orang yang mewakili PT dalam tindakannya melakukan kepengurusan.
Syarat Obyektif (menyangkut para pembuatnya). Tidak dipenuhinya syarat dibawah ini, mengakibatkan perjanjian batal demi hukum (null and void).

3. Hal tertentu (Pasal 1332 – 1334 KUHPerdata)

Pasal 1333 KUHPerdata menentukan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai pokok suatu benda (zaak)yang paling sedikit dapat ditentukan jenisnya. Suatu perjanjian harus memiliki objek tertentu dan suatu perjanjian haruslah mengenai suatu hal tertentu (certainty of terms), berarti bahwa apa yang diperjanjikan, yakni hak dan kewajiban kedua belah pihak. Barang yang dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit dapat ditentukan jenisnya (determinable).[3]

4. Sebab yang halal (Pasal 1335 – 1337 KUHPerdata)

Syarat sahnya perjanjian yang keempat adalah adanya kausa hukum yang halal. Jika objek dalam perjanjian itu illegal, atau bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban umum, maka perjanjian tersebut menjadi batal. Sebagai contohnya, perjanjian untuk membunuh seseorang mempunyai objek tujuan yang illegal, maka kontrak ini tidak sah.[4]

Menurut Pasal 1335 jo 1337 KUHPerdata menyatakan bahwa suatu kausa dinyatakan terlarang jika bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.[5]

Suatu kausa dinyatakan bertentangan dengan undang-undang, jika kausa di dalam perjanjian yang bersangkutan isinya bertentangan dengan undang-undang yang berlaku. Untuk menentukan apakah suatu kausa perjanjian bertentangan dengan kesusilaan (geode zeden) bukanlah hal yang mudah, karena istilah kesusilaan tersebut sangat abstrak, yang isinya bisa berbeda-beda antara daerah yang satu dan daerah yang lainnya atau antara kelompok masyarakat yang satu dan lainnya. Selain itu penilaian orang terhadap kesusilaan dapat pula berubah-ubah sesuai dengan perkembangan jaman.

sumber :

http://www.landasanteori.com/2015/09/perjanjian-pengangkutan-udara-hukum.html

http://folorensus.blogspot.co.id/2008/07/hukum-tentang-perjanjian-pengangkutan.html

http://soegeng-poernomo.blogspot.co.id/2015/05/perjanjian-pengangkutan.html

http://www.sindikat.co.id/blog/syarat-sahnya-perjanjian

 

MATA KULIAH : HUKUM TRANSPORTASI

DOSEN : SURAJIMAN, SH, MHum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS NASIONAL